Minum Teh, Bukan Kopi

Foto Ilustrasi Teh dan Kopi. (Foto: Istimewa)
Foto Ilustrasi Teh dan Kopi. (Foto: Istimewa)

Seperti biasanya, Guru menebar senyum sejuknya kepada kami. Senyuman yang membuat kami semua merasa nyaman, merasa terlindungi, merasa betul-betul serasa di rumah, merasa ayem lan tentrem atine,  benar-benar merasa satu saudara meski kami berbeda-beda suku, etnik, ras, dan juga agama. Perbedaan itulah kekuatan kami.

Bukankah sedari awal  penciptaan dunia, segala sesuatunya dalam keanekaragaman. Ada terang ada gelap, ada matahari, ada bulan dan bintang, pegunungan maupun pantai/ laut, aneka tumbuhan dan hewan, baik di darat dan di laut. Manusia-pun ada pria dan wanita. Bahkan, tubuh manusia juga terdiri dari anggota-anggota tubuh yang berbeda baik sifat maupun fungsinya.

Perbedaan manusia merupakan fenomena kodrati manusia. Keadaan semacam ini tidak bisa dihapuskan, karena menentang hukum alam. Di negeri ini—ada Jawa, ada Sunda, ada Bali, ada Flores, ada, Papua, ada Maluku, ada Ambon, ada Manado, ada Bugis, ada Dayak, ada Banjar, ada Aceh, ada Padang, ada Palembang, ada Madura, dan sebagainya.

Semua itu tidak bisa dihapus. Ibarat kata seperti organ-organ dalam tubuh manusia atau binatang yang beraneka ragam. Tidak bisa dihapus. Agama pun berbeda-beda. Di dunia ini tidak hanya satu agama. Dalam keanekaragaman manusia, dan seluruh alam ciptaan itu makin terlihat kemuliaan, keindahan, dan kebesaran Tuhan.

Guru berdehem kecil sebelum mulai bicara. Kami pun segera diam.

Hari ini, kata Guru mengawali…