Quo Vadis, Lebanon

Demonstrasi kaum muda Lebanon, pada tanggal 17 Oktober 2019 (Foto: Istimewa)
Demonstrasi kaum muda Lebanon, pada tanggal 17 Oktober 2019 (Foto: Istimewa)

MUNDURNYA Kabinet Lebanon pimpinan PM Hassan Diab, hari Senin (10/8) atau enam hari setelah ledakan sebuah gudang di pelabuhan Beirut yang menewaskan paling kurang 200 orang dan melukai ribuan orang lainnya, menimbulkan setumpuk pertanyaan.

Mengapa pemerintahan bubar, di tengah situasi yang tidak menentu? Quo vadis, Lebanon?

Apakah mundurnya kabinet itu sebagai bentuk pertanggung jawaban? Apakah mereka merasa telah gagal memenuhi harapan rakyat, yang antara lain menciptakan perdamaian dan kedamaian? Apakah merasa frustasi terhadap situasi yang entah mengarah ke mana

Apakah tindakan itu, mengundurkan diri, sebagai ketidak-beranian menanggung risiko yang begitu besar melihat Lebanon berada di pinggir jurang? Apakah mereka mundur karena desakan rakyat?

Masih ada banyak pertanyaan lain. Tetapi, seperti dikatakan Thomas L Friedman (1989),  Lebanon (Beirut) adalah sebuah negara (kota) yang selalu memancing lebih banyak pertanyaan ketimbang jawaban. Pertanyaan bukan hanya bagi orang luar, tetapi juga penduduk negeri itu sendiri.

Tragedi tanggal 4 Agustus itu, akibat ledakan 2.750 ton amonium nitrat yang ledakkannya terdengar sampai Siprus yang berjarak 240 kilometer itu, mempertegas berbagai persoalan yang membelit Lebanon, selama ini.

Banyak unsur penyebabnya baik dalam maupun luar negeri, yang membuat rakyat semakin menentang pemerintah, para politisi yang dianggap korup, dan menginginkan perubahan total Lebanon, termasuk sistem politiknya.

Peta Politik