PANDEMI yang belum jelas kapan akan berakhir tentu menimbulkan kekhawatiran banyak orang tentang masa depan. Ketika upaya-upaya untuk bertahan telah dilakukan tetapi dihadapkan pada ketidakpastian maka dapat saja lalu memunculkan bayangan bahwa masa depan akan sangat buruk, dengan gambaran situasi yang sangat tidak diharapkan.
Bila ada hal-hal yang bisa kita lakukan agar bayangan situasi buruk itu tidak sampai terjadi, tentu kita akan lakukan sebisa mungkin.
Situasi yang demikian sering dikaitkan dengan apa yang disebut distopia. Bila kita mencoba melacak apa arti distopia, penjelasan yang mudah ditemukan adalah ini menunjuk pada imaji tentang situasi yang buruk (di masa depan).
Kata ini sering dipakai untuk mewakili suatu masyarakat yang anggota-anggotanya tertindas, tidak memiliki kebebasan personal, dan lumpuh kreativitas.
Dengan kata lain ini berlawanan dengan harapan dan aspirasi manusia pada umumnya tentang sesuatu yang ideal. Bila utopia menunjuk kepada tempat, yang hanya bisa kita impikan, layaknya surga, maka distopia adalah sebaliknya di mana segala sesuatunya tidak seperti yang kita harapkan.
Di masa pandemi, film atau kisah fiksi distopian disebut-sebut justru laku keras ditonton atau dibaca. Mengapa ini laris ditonton dan dibaca? Salah satu alasannya adalah karena fiksi distopian dapat menjadi kanalisasi rasa amarah dan kegelisahan.
Maka secara ringkas lantas distopia dipahami sebagai situasi atau tempat yang merepresentasi masa-masa yang mengerikan yang membahayakan manusia dan kemanusiaan.
Menurut ilmuwan politik Shauna Shames dan Amy Atchison (2020), distopia bukanlah suatu tempat yang nyata, melainkan sebuah peringatan biasanya tentang sesuatu yang buruk yang dilakukan oleh pemerintah atau sesuatu yang baik yang gagal untuk dilakukan.
Juga, bila distopia yang sebenarnya adalah sebatas fiksi, namun pemerintah dalam dunia nyata dapat menjadi distopian. Artinya, memahami atau mendefinisikan distopia tidaklah luput dari urusan good governance yang bahkan juga kait-mengkait dengan dunia kapital.
Kanalisasi kegamangan?
Mungkin terlalu terburu-buru bila lantas menyatakan bahwa pemerintah di mana kita berada benar-benar layaknya yang ada dalam fiksi-fiksi distopian seperti menindas rakyat sekaligus tidak hendak memberikan kemaslahatan. Seperti dikatakan oleh Shames dan Atchison, distopia fiksional memberikan peringatan akan masa depan yang buruk yang dapat dicegah jangan sampai benar-benar terjadi.
Akan menjadi persoalan serius ketika kegamangan akan masa depan yang mengerikan layaknya dalam gambaran fiksi distopia dikanalisasi dalam dunia nyata. Bukan hanya tindakan kanalisasi itu saja yang perlu dikenali, tetapi juga penyebab atau pemicu-pemicunya.
BACA:Universitas Atma Jaya Gelar Talkshow Daring Tentang Body Shaming