KITA semua berharap bisa melalui pandemi ini dengan selamat. Masa setelah pandemi nanti boleh jadi berbeda dibanding masa-masa sebelumnya.
Dalam situasi seperti ini, ketahanan pangan merupakan salah satu aspek atau tanda terpenting bagi suatu negara untuk dapat berhasil menyelamatkan kelangsungan hidup rakyatnya.
Indonesia merupakan asal dari cerita fabel makhluk cerdik pelanduk atau makhluk nyata langka kancil (Tragulus javanicus) yang mempunyai banyak cara untuk meloloskan diri, terutama yang berkaitan dengan kelangsungan hidup. Bisakah mitologi tersebut terbukti? Kita menjadi bangsa yang selamat menghadapi masa pandemi ini?
Menarik untuk mengamati dari dekat ketahanan pangan di mancanegara, di negara-negara besar dan maju yang sedang berperang dagang yakni Amerika Serikat melawan China. Peribahasa lama gajah bertarung sama gajah, pelanduk mati di tengah-tengah.
Seharusnya ini dapat dilihat sebagai peluang untuk menyambut new normal di negeri agraris yang tanahnya subur dan iklimnya mendukung atau negeri maritim yang dapat berternak apa saja karena airnya berlimpah.
Saat perang dagang dimulai tiga tahun lalu, salah satu produksi hasil bumi andalan AS yaitu kedelai ditolak China selaku pengimpor kedelai terbesar di dunia. Juga ditolak Jepang yang merupakan pengimpor kedelai terbesar kedua dunia, gara-gara saking banyak produksinya sehingga tercampur kedelai GMO (Genetically Modified Organism).
Sasaran ekspor dialihkan. Kedelai AS menguasai pasar di Indonesia untuk memenuhi kebutuhan tempe, tahu, kecap, susu sari kedelai menggantikan kedelai lokal yang produksinya terbatas.
Berbeda dengan di AS, di China sejak awal revolusi komunisme para petani dan peternak telah terlatih dengan sangat beratnya untuk membuka, merawat, dan menghasilkan di lahan milik negara yang dapat digarap bersama-sama. Setiap ada tanah kosong terlantar, atas ijin negara dapat dijadikan komunitas berkebun untuk masyarakat setempat.
Sebagian militan pertanian ini adalah orang-orang Indonesia keturunan Tionghoa yang kembali ke China pada awal tahun 1960an karena diberlakukannya Peraturan Presiden nomor 10 tahun 1959. Hidup mereka sengsara, tapi kini buah-buahan dari China dapat dijumpai di mancanegara.
Kita perlu ingat pemikiran Prof Sediono Tjondronegoro (1928-2020) dari Institut Pertanian Bogor. “Negara harus mempunyai rencana tata guna tanah secara nasional”. Artinya Indonesia harus memiliki rencana semesta nasional tentang penguasaan, penggunaan, dan penataan tanah seperti yang tertera dalam Undang Undang Pokok Agraria tahun 1960.
Intinya pengalokasian tanah harus sepenuhnya untuk pertanian. Pertanian pangan agar diproteksi, begitu pun tanah untuk petani-petani, wilayah pertambakan, padang penggembalaan, sumber mata air, fungsi hutan, dan sebagainya.
Seharusnya revolusi mental dimulai dari rencana ini. Saatnya petani dan peternak dipersatukan untuk menguatkan ketahanan pangan. Misalnya ada jaminan sosial ekonomi dari pemerintah untuk cukup lahan, pekerjaan, biaya pengeluaran, pendapatan dan kesehatan bagi petani peternak sebagai ujung tombak ketahanan pangan.
Selain itu kita perlu lebih menghargai produk lokal. Misalnya dengan gerakan locavore, membeli hasil bumi lokal dalam radius sekitar 200 sampai 300-kilometer sehingga tahu asal dari apa yang kita makan. Selain lebih sehat, ini menghemat biaya produksi, transportasi dan mengurangi pemanasan global.