YOGYAKARTA, SURYAYOGYA.COM – Tiap negara pasti mengharapkan munculnya kekebalan kelompok dalam masyarakatnya untuk menghadapi wabah Covid-19 yang sedang merajalela. Pada dasarnya untuk mengamati kekebalan kelompok dapat menggunakan pendekatan melalui teori Charles Darwin mengenai seleksi alam.
Seleksi alam merupakan kunci mekanisme evolusi, perubahan untuk menjadi lebih sesuai atau lebih baik, juga untuk lolos dari masa sulit akibat serangan virus korona.
Kekebalan kelompok (herd immunity) merupakan istilah umum dalam epidemiologi, ilmu tentang penyebaran penyakit menular pada manusia serta faktor yang mempengaruhinya. Ketahanan terhadap Covid-19 dapat tercapai kalau dalam suatu populasi dengan uji positif yang representatif, tingkat kematian menurun.
Pasien yang sembuh dan menjadi kebal terhadap infeksi virus meningkat, juga keimunan (menjadi kebal terhadap wabah Covid) secara alami melalui seleksi alam juga seleksi buatan melalui vaksinasi, atau keduanya, dalam kelompok masyarakat terbentuk.
Memperkuat kekebalan kelompok dalam masa pandemi ini masuk akal (walaupun vaksinnya belum siap) tetapi dikuatirkan akan memakan banyak korban dan diperlukan disiplin yang tinggi (antara lain jaga jarak, pakai masker, cuci tangan, batasi bepergian, hindari keramaian, tingkatkan ketahanan tubuh, uji Covid-19, karantina, riset pengobatan). Kelompok yang rentan dan perlu dilindungi mulai dari orang-orang tua (lanjut usia), orang-orang sakit, anak-anak kecil yang justru resiko kematiannya meningkat kalau diberi vaksin.
Kekebalan kelompok berpijak pada prinsip seleksi alam yang berasal dari hukum alam semesta yang sering terlupakan, telihat ganas tanpa pilih kasih, dan memerlukan waktu lama. Rintisan kekebalan kelompok awalnya meminta banyak korban karena seolah-olah kembali ke alam bebas, yang kuat, yang dapat beradaptasi yang dapat bertahan hidup.
Menerapkan strategi kekebalan kelompok untuk menghadapi Covid-19 melibatkan kelompok masyarakat yang bersikap dewasa misalnya keluar rumah kalau benar-benar sehat dengan alat pelindung, menunda berekreasi, dan lain-lain yang tidak begitu penting dilakukan.
Menarik mengamati banyak protes anti vaksin dan anti masker di negara-negara maju misalnya di Inggris, Skandinavia (Denmark, Norwegia, Swedia), Australia, Amerika Serikat, baru-baru ini. Hal ini dapat dianggap sebagai kontrol terhadap perusahaan-perusahaan farmasi raksasa yang memproduksi vaksin juga negara-negara yang ikut mendukungnya.
Puluhan ribu demonstran tersebut seolah-olah menagih janji, memasuki tahun ketiga pandemi ini belum juga ada tanda-tanda kekebalan kelompok terbentuk, atau mereka terlalu optimis ingin mencoba lebih awal munculnya kekebalan kelompok alami.
Hal yang menggembirakan mengenai kekebalan kelompok mestinya dapat diamati di ajang olahraga tingkat dunia (misalnya Olimpiade musim panas dan musim dingin saat ini), tingkat benua sepak bola (Copa America, Piala Eropa, Piala Asia), juga tingkat nasional PON XX Papua. Tidak ada korban jiwa para atlet, pelatih, panitia, dan penonton karena wabah virus korona di ajang olahraga tersebut.
Kesehatan, ketahanan tubuh, semangat yang menggelora, juga protokol kesehatan yang ketat membatasi penyebaran wabah pandemi dan meringankan penderita yang terkena sehingga tidak sampai meminta korban jiwa. Mungkinkah salah satu sumber kekebalan kelompok dapat berasal dari kelompok masyarakat ini?
Dalam keadaan darurat lockdown merupakan pilihan akhir. Pemerintah walaupun tanpa menerapkan lockdown akan terus memperbanyak tes Covid-19 supaya datanya lebih representatif, memonitor jumlah korban dan pasien yang sembuh dengan saksama. Sambil tetap menggerakkan roda ekonomi dan mempercepat vaksinasi secara massal beserta vaksin boosternya. Masyarakat akan kembali kepada ketahanan tubuh alami masing-masing yang berbeda tiap individu, tetapi tetap mengarah kepada satu tujuan untuk lolos dari pandemi.
Beberapa negara misalnya Belanda seperti Indonesia tidak menerapkan lockdown, tetapi menerapkan ketahanan kelompok sambil tetap meningkatkan uji Covid-19, karantina dan pengobatan. Menurut data Worldometer Coronavirus di bulan Februari lalu: Belanda dengan penduduk sekitar 17 juta, total uji Covid-19 sekitar 21,1 juta (melebihi jumlah populasi), kasus positifnya sekitar 4.9 juta, dan yang meninggal dunia lebih dari 21 ribu jiwa. Sedangkan Indonesia penduduknya sekitar 274 juta, total uji sekitar 74.6 juta (kurang dari1/3 populasi), kasus positif sekitar 4,5 juta, dan yang meninggal dunia lebih dari 144 ribu jiwa.
Laporan dari PBB melalui Our World in Data awal Februari ini total vaksinasi di Indonesia sekitar 67%, di Belanda sekitar 76%. Angka-angka statistik pandemi ini mudah berubah apalagi dengan munculnya varian baru setelah Delta, Omicron. Melanjutkan vaksinasi dan protokol kesehatan sampai saat ini masih merupakan pendekatan yang masuk akal dan akan meringankan penyebaran varian-varian baru Covid-19.
Lembaga kesehatan pemerintah Belanda terus meneliti antibodi pada orang yang pernah terkena Covid-19 supaya tidak tertular lagi. Semacam vaksin internal yang membentuk kekebalan tubuh dari dalam sebelum ada vaksin yang dapat diproduksi secara massal. Semoga Vaksin Nusantara yang berbasis sel dendritik dari darah dan sumsum tulang dapat terus dikembangkan dan diterapkan untuk menghadapi pandemi ini yang telah memasuki tahun ketiga.
Temuan terbaru di akhir tahun lalu berasal dari para ilmuwan di Afrika Selatan dan Inggris. Varian baru virus korona Omicron yang penyebarannya cepat akan menyingkirkan varian Delta yang mematikan. Pepatah lama dalam pengobatan tradisional dan modern “melawan racun (mikroba) dengan racun (mikroba) yang lebih lemah” semoga dapat diterapkan. Pasien yang sembuh dari Omicron cenderung lebih tahan dari serangan Delta.
Hal ini menggembirakan karena akan meningkatkan kekebalan kelompok dan mengurangi kematian. Selain itu mutasi virus korona yang makin sering terjadi, variannya makin banyak, mudah menyerang tetapi tidak mematikan, mungkin pertanda baik bahwa virus koronanya panik, mendekati akhir, dan pandemi akan segera berlalu.
Bagaimanakah dengan kekebalan kelompok di Indonesia? Kekebalan kelompok untuk menghadapi Covid-19 mestinya dimulai dari kekebalan individu yang dapat dipupuk melalui 5 pendekatan. Mulai dengan makan makanan bergizi, minum minuman sehat, menjaga kebersihan, olahraga, berpikiran positif, dan disiplin yang tinggi mengikuti protokol kesehatan. Kesadaran bahwa kita semua dapat terkena dan menularkan virus korona akan membantu untuk mawas diri.
Covid-19 telah meminta banyak sekali korban, jumlah total mendekati 6 juta jiwa manusia dari banyak orang yang kita kenal, dalam waktu 2 tahun, dan akan terus bertambah kalau kekebalan kelompok alami dan buatan lewat vaksinisasi belum jelas arahnya. (*)
4 Maret 2022
Penulis doktor biologi alumni Vrije Universiteit Amsterdam, pernah mengajar Evolusi dan Seleksi Alam di Fakultas Biologi Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga (1985-1995).