OPINI Aloysius Gunadi Brata – Di pertengahan 2021 lalu Indonesia turun kelas dari upper-middle income country (UMICs) kembali menjadi anggota lower-middle income countries (LMICs). Bank Dunia menjadikan Indonesia sebagai bagian dari UMICs di 2020, berdasarkan data capaian ekonomi nasional 2019. Artinya, segera setelah pandemi COVID-19 melanda, Indonesia pun kembali terjungkal ke kelompok LMICs.
Negara lain, seperti Romania, juga bernasib sama. Naik peringkat ke grup high-income countries (HICs) sebentar, kemudian merosot lagi menjadi anggota UMICs.
Karena ekonomi nasional 2021 rebound, ada keyakinan bahwa tahun ini Indonesia dapat kembali masuk kelompok UMICs. Bahkan Bappenas memperkirakan bahwa Indonesia dapat naik peringkat dari UMICs ke HICs sebelum 2043.
Bila ini memang terjadi maka lepaslah Indonesia dari middle income trap (MIT). Yang juga disebut adalah Indonesia akan ikuti rute Korea Selatan (Korsel) yang mampu keluar dari jebakan tersebut dalam waktu 14 tahun dengan penekanan kebijakan transformasi ekonomi dan inovasi berbasis temuan riset yang melibatkan semua stake holders.
Kapabilitas inovasi
Apakah impian ini bisa terwujud? Berdasarkan catatan yang ada, banyak negara yang tembus naik ke kelompok berpendapatan menengah, tetapi setelah itu pertumbuhan ekonomi terus melamban dan akibatnya tidak juga mampu naik ke HICs.
MIT pada dasarnya menunjuk situasi di mana UMIC tidak lagi mampu bertanding secara internasional untuk produk-produk yang labor-intensive lantaran upah sudah relatif terlalu mahal, namun juga gagal di level aktivitas-aktivitas dengan nilai tambah yang tinggi oleh karena produktivitasnya terlampau rendah. Akibatnya adalah pertumbuhan ekonomi lambat, upah tidak bergerak atau pun anjlok, dan sektor informal pun membesar.
Dan memang banyak disepakati bahwa tidak memadainya pembangunan kapabilitas inovasi domestik menjadi sebab utama suatu negara masuk ke dalam MIT. Dengan demikian, tesisnya sederhana yaitu harus melakukan inovasi secara serius dan benar, tanpa itu maka sama saja akan menuju ajal.
Berdasarkan Global Innovation Index 2021 yang dirilis oleh WIPO, Indonesia berada di peringkat 87 dari 132 negara. Dalam laporan ini, Indonesia masih di kategori UMICs. Peringkat ini lebih rendah daripada misalnya Kenya dan Uzbekistan. Sedangkan Korsel yang jejaknya hendak ditiru Indonesia ada di peringkat 5. Bila berdasarkan Bloomberg Innovation Index 2021, posisi Korsel menjulang di atas, bahkan mampu merebut kembali posisi teratas setelah sebelumnya ditempati oleh Jerman. Indonesia, tentulah sulit dicari dalam daftar atas indeks dari Bloomberg tersebut.
Tentu peringkat Korsel tersebut bukanlah hasil capaian sekejap mata. Pada dasarnya, ini disimpulkan sebagai hasil dari sistem inovasi yang secara historis bersifat top-down yang menyatukan pemerintah, industri, dan komunitas akademik untuk berkolaborasi demi kepentingan bangsa. Demikian menurut Tim Mazzoral dari University of Western Australia sebagaimana dikutip dalam Nature di salah satu edisi 2020. Bahkan juga ada ditambahkan bahwa, menurut Martin Hemmert dari Korea University, mindset kultural ikut menentukan, yakni tidak pernah berpuas diri dan selalu merasa pesimis.
Mindset kultural Korsel ini tampak paralel dengan orang Yahudi. Mort Laitner, seorang penulis Yahudi, dalam satu blognya menuliskan jawaban dari rekan bercakapnya yang menegaskan bahwa orang Yahudi pada dasarnya memiliki pesimisme yang tinggi yang dilatarbelakangi oleh sejarah mereka yang dalam waktu lama kurang beruntung, sejarah kelam. Inilah sebabnya mereka menjadi terus belajar dan melakukan berbagai hal baru.
Maka pertanyaannya bagi Indonesia adalah apakah siap untuk tidak terburu-buru puas dengan satu dua capaian yang tampak prestisius? Siapapun yang terlalu cepat puas akan cenderung mandek setelah meraih satu lompatan kecil saja.