KISRUH minyak goreng belum juga selesai. Seperti mukjizat, ketika harga minyak goreng kemasan tidak lagi diatur oleh pemerintah, artinya mencabut ketentuan mengenai Harga Eceran Tertinggi (HET), pasokannya justru membanjir, khususnya untuk merk-merk ternama.
Ini bertolak belakang dengan nyaris lenyapnya minyak goreng manakala harganya ditentukan dengan skema HET.
Skema HET bukannya mengatasi mahalnya harga minyak goreng, namun malah membuat minyak goreng hilang misterius. Minyak goreng yang harusnya bisa didapatkan pada tingkat harga yang relatif murah justru harus diperoleh dengan harga yang mahal. Sementara pemerintah berulang kali dengan kukuh mengatakan bahwa pasokan sebetulnya aman.
Kendali kartel yang berulang
Maka wajar jika dicurigai ada yang “menggoreng” minyak goreng berupa praktik penimbunan atau setidaknya menahan stok sampai harganya menjadi tinggi lagi. Tentu tidak terkecuali partai politik dengan praktik bagi-bagi atau jual murah minyak goreng.
Sangat kuat diduga ini adalah buah permainan kartel minyak goreng. Seturut data Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), pasar minyak goreng Indonesia sangat terkonsentrasi. Empat produsen besar mengusai 46,5 persen pasar minyak goreng.
Acuan umum, ketika lima perusahaan besar menguasai lebih dari 60 persen
pasar, maka yang terjadi adalah oligopoli. Di manapun, oligopoli mudah menjadi liar ketika tidak ada regulasi yang jelas atau eksekusi regulasi demikian lemah dan dapat dinegosiasikan via pintu belakang.
Konsentrasi industri yang tinggi ini juga disertai dengan konsentrasi spasial yang tinggi, yakni sebagian besar pabrik minyak goreng berada di Jawa. Merujuk publikasi BPS (Pola Distribusi Perdagangan Komoditas Minyak Goreng 2021), total pabrik minyak goreng di Indonesia adalah 74 dan sebanyak 45 ada di Jawa khususnya Jawa Timur yang mencapai 23 pabrik.
Pertumbuhan rata-rata konsumsi minyak goreng selama periode 2015-2020 meningkat lumayan, sebesar 2,32 persen/tahun dan di tahun 2020 sebesar 11,58 liter/kapita/tahun. Produksi minyak goreng Indonesia juga sangat mampu memenuhi pasar domestik, bahkan sebagian hasil produksi ada yang diekspor. Namun akhir September 2021, harga minyak goreng mulai merangkak naik.
Masih menurut publikasi BPS, distribusi minyak goreng dari produsen mengalir ke distributor sebanyak 56,28 persen, lalu yang langsung ke wilayah penjualan luar negeri mencapai 40,28 persen, sisanya tersebar misalnyake eksportir (0,43 persen), subdistributor (0,25 persen), agen (0,40 persen), pedagang besar (0,77 persen), pedagang eceran (0,03 persen), supermarket/swalayan (0,01 persen). Dari distributor, aliran minyak goreng terbesar adalah ke pedagang eceran dan supermarket/swalayan.
Dari sini jelas, produsen dan distributor punya kekuatan sangat besar untuk bermain. Tanpa masuk ke urusan distribusi ini, tentu saja yang berkuasa adalah para jawara pasar minyak goreng. Inspeksi-inspeksi pasar rasanya memang akan sia-sia belaka karena mafia minyak goreng tetap dapat menggoreng pasar minyak goreng tersebut.
BPS pun dalam laporannya sudah dengan jelas menyebutkan bahwa pola utama distribusi perdagangan minyak goreng ini berupa tiga rantai: produsen-distributor-pedagang eceran, dengan Margin Perdagangan dan Pengangkutan Total (MPPT) nasional sebesar 17,41 persen yang menunjukkan besarnya kenaikan harga komoditas tersebut dari produsen sampai ke konsumen akhir.
Pola ini pun telah diperkirakan berpotensi menjadi lebih panjang sehingga rantai distribusi menjadi tidak efisien dan bisa merugikan konsumen akibat kenaikan harga. Terbukti, partai politik pun ikut main-main dalam rantai distribusi ini.