Hidup Kekurangan namun Justru Lebih Berbahagia

Sigit Triandaru, dosen Universitas Atma Jaya Yogyakarta
Sigit Triandaru, dosen Universitas Atma Jaya Yogyakarta

OPINI : Sigit Triandaru

Bagi seorang buruh atau pegawai, hari Sabtu atau awal bulan biasanya dinanti-nantikan karena upah atau gaji dibayarkan pada waktu-waktu tersebut.

Mereka bisa pulang dengan rasa bahagia karena membawa pulang uang dan setidaknya selama beberapa hari berikutnya bisa memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.

Rasa bahagia serupa juga bisa didapatkan karena seorang buruh yang mengalami kenaikan upah, seorang pedagang yang dagangannya laku, atau seorang pengusaha yang labanya naik.

Sebaliknya rasa tidak berbahagia bisa muncul saat tabungan sudah habis padahal hari gajian masih lama atau usaha mengalami kerugian karena dagangan tidak laku. Tampak bahwa kepemilikan materi, entah uang atau barang, berhubungan erat dengan kebahagiaan seseorang.

Pada kesempatan lain, penyakit, tidak lulus ujian, rasa tidak aman akibat risiko menjadi korban tindak kejahatan, atau ditinggalkan oleh orang yang dikasihi juga bisa menurunkan tingkat kebahagiaan.

Faktor-faktor lain tersebut menunjukkan bahwa kebahagiaan seseorang tidak hanya dipengaruhi oleh kekayaan materi tetapi juga oleh berbagai faktor lain seperti kesehatan, lingkungan sosial, perasaan, dan capaian dalam hidup.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, bahagia adalah keadaan atau perasaan senang dan tenteram, bebas dari segala yang menyusahkan.

Pada Desember 2021, Badan Pusat Statistik (BPS) kembali menerbitkan Indeks Kebahagiaan yang mencakup 34 provinsi di Indonesia. Survei untuk menyusun indeks ini mencakup 19 indikator.

Masing-masing anggota masyarakat yang terpilih menjadi sampel diminta secara subjektif mengungkapkan kepuasan hidup personal dan sosial, perasaan atau kondisi emosional, serta capaian atau makna hidup mereka dalam 19 indikator tersebut.

Hasil pengukuran kebahagiaan menghasilkan angka atau indeks dari 0 hingga 100. Indeks yang semakin mendekati 100 menunjukkan tingkat kebahagiaan yang semakin tinggi dan sebaliknya semakin mendekati 0 berarti semakin tidak bahagia.

Tiga provinsi dengan tingkat kebahagiaan tertinggi adalah Maluku Utara, Kalimantan Utara, dan Maluku, sedangkan Banten, Bengkulu, dan Papua berada pada peringkat paling bawah. Indeks ini juga menunjukkan bahwa secara umum tingkat kebahagiaan orang Indonesia tahun 2021 (71,49) telah mengalami peningkatan dibandingkan tahun 2017 (70,69).

Meskipun sebagian besar provinsi mengalami kenaikan tingkat kebahagiaan, terdapat 10 provinsi yang mengalami penurunan. Provinsi Jambi, Sulawesi Barat, dan Kalimantan Utara mengalami peningkatan tertinggi, sedangkan yang mengalami penurunan terbesar adalah Banten, Daerah Istimewa Yogyakarta, dan Sumatera Barat.

Keadaan yang terjadi di Provinsi Maluku menarik untuk direnungkan. Indeks Kebahagiaan Maluku berada posisi tertinggi ke-3 di Indonesia, namun pada saat yang bersamaan terdapat beberapa fakta lain yang menarik. Pertama, pendapatan per kapita Maluku (Rp17juta) adalah yang terendah ke-2 di Indonesia.

Kedua, persentase penduduk miskin di Maluku (16,3%) adalah yang tertinggi ke-4 di Indonesia. Ketiga, Maluku juga menduduki peringkat ke-4 dalam indeks kedalaman kemiskinan di Indonesia. Semakin tinggi indeks kedalaman kemiskinan menunjukkan rata-rata pengeluaran penduduk miskin semakin jauh berada di bawah garis kemiskinan.

Meskipun pendapatan rata-ratanya ke-2 terendah, persentase penduduk miskinnya ke-4 tertinggi, dan indeks kedalaman kemiskinannya ke-4 tertinggi, namun tingkat kebahagiaan Provinsi Maluku justru berada pada posisi nomor tiga di Indonesia.

Sebenarnya Provinsi Maluku Utara juga memiliki kemiripan dengan yang terjadi di Maluku. Tingkat kebahagiaan bahkan tertinggi di Indonesia namun pendapatan rata-rata berada pada urutan ke-7 terbawah. Bedanya terletak pada tingkat kemiskinan. Persentase jumlah penduduk miskin di Maluku Utara termasuk rendah, yaitu hanya 6,4%, sehingga berada pada peringkat ke-9 terendah di Indonesia.

Warga Maluku telah menunjukkan bahwa keterbatasan kepemilikan materi tidak selalu dapat menghalangi seseorang untuk berbahagia. Hidup dalam kekurangan namun justru lebih berbahagia dibandingkan daerah lain. Penjelasan rinci yang melatarbelakangi keadaan ini tentu saja perlu dikaji lebih jauh melalui studi mendalam tentang berbagai aspek kehidupan di Maluku, misalnya adat, norma, tradisi, kepercayaan, kesehatan, keadaan alam, interaksi sosial, dan akurasi data.

Sebelum itu bisa dilakukan, beberapa hal memiliki potensi untuk menjadi sumber jawaban. Pertama, banyak warga Maluku mungkin bisa menerima dan bahkan mensyukuri keadaan alam dan lingkungan kemasyarakatan yang mereka temui di sana. Kedua, mereka mungkin tidak terlalu membanding-bandingkan keadaan mereka dengan daerah lain lebih dilimpahi kekayaan lahiriah.

BACA:Bulan Ramadhan, Bulan Menempa Ketaqwaan dan Ketaatan Sosial

BACA:OPINI: Menggoreng Minyak Goreng