
Opini: Andreas Sukamto, Dosen Prodi Ekonomi Pembangunan Fakultas Bisnis dan Ekonomika Universitas Atma Jaya Yogyakarta
Setelah Pandemi COVID-19 relatif mereda, perekonomian dunia kini menghadapi gelombang besar isu perubahan iklim, geopolitik dan geoekonomi global yang tanda-tandanya menuju ke arah krisis energi dan gas, krisis pangan, serta krisis keuangan global. Bank Dunia (World Bank), International Monetery Fund (IMF) serta Food and Agriculture Organization (FAO) baru-baru ini merilis kabar buruk, bahwa 40 sampai 60 negara di dunia menghadapi negara gagal (failed state). Sri Langka menjadi salah satu negara menuju ke arah negara gagal yang sekarang ini menghadapi kondisi sosial ekonomi dan sosial politik yang tidak menentu. Negara tersebut tidak hanya menghadapi krisis energi dan krisis pangan, tetapi juga krisis hutang luar negeri akibat gagal bayar hutang senilai US $51,6 milyar.
Sebagian besar kebutuhan energi dan gas serta komoditi pangan dunia serta di negara-negara Eropa diimpor dari Rusia, sedangkan Ukrania juga sebagai penghasil kebutuhan pangan dunia, terutama komoditi gandum. Dampak dari boikot negara-negara Uni Eropa terhadap Rusia menyulut harga energi dan gas serta harga pangan dunia merangkak naik. Beberapa negara seperti India mulai menghentikan ekspor komoditi gandumnya untuk kebutuhan dalam negerinya, di samping mempersiapkan kebutuhan dalam negeri karena adanya isu perubahan iklim (climate change).
Pertumbuhan ekonomi vs inflasi
Sistem mekanisme pasar (market mechanism) membolehkan produksi dan distribusi barang dan jasa ini dilakukan oleh orang per orang dan dipertukarkan di pasar (market) melalui interaksi antara penawaran (supply) dan permintaan (demand). Pasar membentuk harga (price) yang menentukan jumlah yang dapat dibeli oleh masyarakat dengan harga tersebut. Harga adalah isyarat untuk mengambil keputusan. Dengan sistem pasar yang demikian, perekonomian selalu mengalami fenomena gelombang pasang surut secara periodik.
Dalam teori ekonomi gejala seperti ini disebut sebagai siklus bisnis (business cycle) atau konjungtur. Ekonomi tidak bisa tumbuh terus tanpa batas, selalu menghadapi fenomena gelombang pasang surut pertumbuhan ekonomi (PDB).
Baru-baru ini IMF dalam World Economic Outlook, April 2022 merilis proyeksi pertumbuhan ekonomi global tahun 2023 sebesar 3,6%, yang ditopang oleh rendahnya pertumbuhan ekonomi di negara maju hanya 2,4%, seperti Amerika Serikat 2,3%, Uni Eropa 2,3%, Jepang 2,3%. Sedangkan pertumbuhan ekonomi di Tiongkok sebesar 5,1%, India 6,9%, Brasil 1,4%, Thailand 4,3% dan Indonesia sebesar 6%.
Negara maju seperti Amerika Serikat saat ini juga dilanda inflasi 8,3%, tertinggi selama 30 tahun terakhir ini, sebagai akibat dari naiknya harga-harga, akibat krisis energi dan gas serta pangan. Dengan pertumbuhan ekonomi yang kurang dari 2% selama dua kuartal berturut-turut, serta menghadapi inflasi 8,3%, perekonomian Amerika Serikat menuju tanda-tanda ke arah resesi ekonomi. Negara-negara Uni Eropa, seperti Inggris, juga tengah dilanda inflasi 9,1% akibat naiknya harga energi dan gas serta pangan, sebagai dampak dari boikot negara-negara Eropa terhadap invasi Rusia ke Ukraina.
Beberapa negara di Asean juga menghadapi inflasi yang merangkak naik. Seperti Laos sekarang ini menghadapi inflasi 9,9%, Thailand (7,1%), Kamboja (6,3%), Filipina (5,4%), Singapura (5,24%), Vietnam (2,84%), Brunei Darussalam (2,8%), Malaysia (2,3%). Dan Indonesia (4,35%). Sedangkan 10 negara dengan inflasi tertinggi saat ini adalah Venezuela sebesar (222%), Sudan (221%), Lebanon (206%), Syria (139%), Zimbabwe (132%), Turki (73,5%), Suriname (59,8%), Argentina (58%), Iran (39,3%), dan Sri Lanka (31,1%). Hal ini disebabkan oleh kondisi geopolitik dan geoekonomi dunia sebagai akibat dari perang Rusia-Ukraina.
Pertanyaan selanjutnya lalu, di mana posisi ekonomi saat ini? Sudah berada di titik tertinggi yang akan mentok menjadi krisis dan akan memasuki resesi ekonomi atau belum?
Inflasi vs pengangguran
Dunia kini menghadapi tanda-tanda ke arah krisis energi dan gas serta krisis pangan dan krisis keuangan. Komoditi tersebut harganya meningkat dan ini mendorong juga meningkatnya harga komoditi-komoditi lain di dunia. Seperti sudah disebutkan, perekonomian dunia ki sedang dilanda inflasi yang relarif tinggi. Berbagai proses penyesuaian di banyak negara telah dilakukan baik melalui instrumen fiskal maupun instrumen moneter dalam upaya mengendalikan inflasi yang tinggi dengan pertumbuhan ekonomi yang rendah serta tingkat pengangguran yang mulai merangkak naik.
Rabu 15 Juni 2022 yang lalu, Bank Sentral Amerika Serikat (The Federal Reserve) merilis kebijakan moneternya dengan menaikkan suku bunga acuan dari 0,75% menjadi 1,75%. Kebijakan moneter dari the Fed ini adalah dalam upaya untuk menekan inflasi dan harga barang yang terus naik sejak bulan Maret yang lalu, sebagai imbas dari perang Rusia dan Ukrania yang mendorong inflasi di Amerika Serikat merangkak naik dan mencapai level tertinggi selama 30 tahun terakhir. Gubernur The Fed, Jerome Powell mengatakan bahwa ini adalah kali ketiga The Fed menaikkan suku bunganya sejak bulan Maret yang lalu. Kenaikan suku bunga 75 % basis point (bps) atau 0,75% adalah upaya meredam inflasi dan meredam harga, dan kenaikan suku bunga sebesar 0,75% adalah luar biasa.
Banyak pengamat ekonomi memprediksi bakwa ketika The Fed menaikkan suku bunga acuannya, maka ada dua hal yang harus diperhatikan. Pertama, di sektor konsumsi masyarakat (consumption/C). Apabila konsumsi masyarakat dibiayai melalui kredit bank, maka konsumsi masyarakat akan mengalami penurunan. Kedua, kenaikan suku bunga acuan tersebut juga berdampak pada sektor korporasi (bisnis) yaitu turunnya investasi pada sektor bisnis, karena cost of fund menjadi relatif mahal.
Kedua variabel ini, yaitu konsumsi masyarakat (C) dan investasi sektor korporasi (I) merupakan komponen pembentuk permintaan agregat (aggregate demand). Apabila kedua variabel tersebut mengalami penurunan maka permintaan agregat ada kecenderungan turun, di mana jumlah barang dan jasa secara agregat akan turun. Turunnya permintaan output agregat ini menyebabkan produksi yaitu Produk Domestik Bruto (PDB) juga turun dan pertumbuhan ekonomi (growth) ada tanda-tanda mengalami penurunan. Turunnya pertumbuhan ekonomi ini berimbas pada menurunnya kesempatan kerja dan tingkat pengangguran merangkak naik. Di samping itu, sektor korporasi juga menghadapi tanda-tanda mengarah ke krisis keuangan.
Paparan di atas menunjukkan bahwa perekonomian di Amerika Serikat memiliki gejala menuju ke arah krisis ekonomi seperti yang terjadi tahun 2007/2008 yang lalu, meskipun penyebabnya berbeda. Kondisi perekonomian di Amerika Serikiat saat ini mengingatkan penulis pada studi empiris di Inggris yang dilakukan oleh AW Phillips, penerima The Nobel Prize pada tahun 2001 yang lalu. Artikelnya dipublikasikan didalam The British Journal Economica yang membuatnya terkenal melalui kurva Phillips. Phillips mengamati pola hubungan jangka pendek antara inflasi dengan tingkat pengangguran. Berdasarkan studi empirisnya di Inggris, Phillips menemukan adanya hubungan kebalikan (trade off) antara inflasi dengan tingkat pengangguran dalam jangka pendek (in the short run).
Hubungan kebalikan antara inflasi dan tingkat pengangguran ini dapat dijelaskan sebagai berikut. Apabila para penentu kebijakan ekonomi menghendaki tingkat inflasi yang rendah, maka hubungan kebalikannya adalah tingkat pengangguran tinggi. Begitu pula sebaliknya, apabila para penentu kebijakan ekonomi menghendaki tingkat pengangguran rendah, maka trade off-nya adalah inflasi akan menjadi tinggi.
Meskipun studi empiris tersebut dilakukan di Inggris dan tidak bisa berlaku universal, namun paling tidak bisa memberi gambaran deskriptif kondisi perekonomian global saat ini. Artinya bahwa kedua variabel tersebut, yaitu inflasi dan pengangguran dalam jangka pendek harus dikendalikan dalam batas-batas yang “aman” oleh para penentu kebijakan ekonomi. Dalam jangka Panjang, apabila kedua variabel tidak terkendali maka akan membawa dampak tidak hanya pada sosial ekonomi tetapi juga sosial politik. Sejarah telah membuktikan bahwa di banyak pemerintahan (negara) di dunia ini akan runtuh apabila perekonomiannya dilanda pertumbuhan ekonomi yang rendah dengan tingkat pengangguran yang tinggi, serta inflasi yang tinggi dan ada tanda-tanda ke krisis keuangan.
Penutup
Pertumbuhan ekonomi, inflasi dan pengangguran serta sektor keuangan adalah variabel-variabel ekonomi yang penting untuk melihat kondisi perekonomian global dewasa ini. Para penentu kebijakan dalam suatu negara harus mampu mengendalikan variabel-variabel ini dalam batas-batas yang “aman” baik sosial ekonomi maupoun sosial politik. Ini adalah seni (art) di dalam mengelola perekonomian makro suatu negara di tengah perekonomian dunia yang sudah sangat terbuka dan mengglobal seperti sekarang ini.
BACA:OPINI: Menyongsong Kunjungan Wisatawan ke Yogyakarta Menjelang Berakhirnya Pandemi Covid-19