
OPINI : Andreas Sukamto, Dosen Prodi Ekonomi Pembangunan Fakultas Bisnis Dan Ekonomika Universitas Atma Jaya Yogyakarta
Dalam kurun waktu tiga tahun terakhir ini, perekonomian global telah dilanda goncangan (shock) besar pandemi COVID-19, isu perubahan iklim (climate change), dan isu tentang geopolitik dan geoekonomi global. Dampak dari goncangan besar tersebut telah merubah tatanan kehidupan sosial politik dan sosial ekonomi dunia saat ini, baik di negara-negara maju, negara-negara sedang berkembang maupun di negara-negara miskin. Bahkan, beberapa waktu yang lalu Bank Dunia (World Bank) merilis bahwa 40-60 negara akan terjerumus kedalam negara gagal (failed state).
Semua ini akibat dari tekanan inflasi yang tinggi karena naiknya harga bahan bakar minyak (energi) dan gas, harga pangan dan pupuk, tingginya suku bunga (interest rate) serta tanda-tanda ke krisis keuangan, sebagai imbas dari perang Rusia-Ukrania. Perekonomian dunia berada di tengah-tengah bayang-bayang resesi ekonomi global, sebagaimana dirilis oleh Bank Dunia bahwa semua negara tidak bisa mengelak dari resesi ini.
Pelajaran Dari Pengalaman Sri Lanka
Sri Lanka adalah negara di Asia Selatan, dengan penduduk 22 juta jiwa, yang saat ini menghadapi kondisi sosial ekonomi dan sosial politik yang tidak menentu. Imbas dari pandemi COVID-19, perang Rusia-Ukrania yang tidak kunjung usai dan pengelolaan ekonomi makro yang tidak hati-hati (prudent), serta masalah Korupsi Kolusi dan Nepotisme (KKN) yang menggurita pada dinasti Rajapaksa.
Pada tahun ini pertumbuhan ekonominya diproyeksikan mengalami kontraksi (menyusut) 7% dengan tingkat inflasi di atas 60%. Bulan Juni 2022, inflasi sudah menyentuh angka 54,6% dengan pertumbuhan ekonomi sebesar -1,6%.
gf Sedangkan suku bunga acuan naik 850 basis poin (bps) menjadi sebesar 15,5% sejak awal 2022 yang lalu. Di samping itu, negara ini juga menghadapi depresiasi mata uang Rupee yang parah sebagai tanda menuju ke krisis keuangan. Data dari Bank Sentral Sri Langka per 12 Mei 2022 yang lalu mata uang Rupee terdepresiasi sebesar 44,3 % terhadap USD. Dampak dari krisis keuangan, negara ini kehabisan anggaran dan devisa, tidak mampu membayar impor, dan gagal membayar (default) utang luar negerinya sebesar US $ 51 miliar, atau sebesar 60,85% dari Produk Domestik Bruto (PDB).
Pada tahun 2022 hingga 2026 mendatang banyak pos-pos utang luar negeri Sri Lanka yang jatuh tempo dan harus dibayar kembali, yaitu sebesar US $ 7 miliar dari sebesar US $ 25 miliar.
Sebelum pandemi COVID-19 yaitu pada akhir tahun 2019 yang lalu, cadangan devisa di negara ini hanya US $7,6 miliar. Di tengah pandemi COVID-19, arus devisa yang masuk jauh lebih kecil dibandingkan arus devisa yang keluar untuk melakukan pembayaran perdagangan internasional maupun keuangan internasional. Neraca pembayaran internasional (balance of international payment), yang menunjukkan lalu lintas devisa di negara tersebut pun mempunyai kecenderungan defisit. Di samping mengalami defisit di dalam neraca perdagangan (international trade) Sri Lanka juga mengalami defisit di dalam neraca transaksi berjalan (current account). Sehingga di Sri Lanka menghadapi defisit kembar.
Rendahnya cadangan devisa ini disebabkan negara Sri Lanka sudah sejak lama berorientasi pada impor. Terutama impor kebutuhan primer seperti komoditi pertanian (makanan) dan pupuk, bahan bakar (energi) serta obat-obatan. Sehingga cadangan devisanya turun terus untuk membiayai impor ini. Dan hal ini diperparah pula oleh nilai mata uang Rupee yang terus menurun parah akibat inflasi serta menguatnya (apresiasi) mata uang dollar Amerika Serikat di banyak negara, termasuk di Sri Lanka.
Masalahnya berlanjut kemudian ketika ada goncangan (shock) yaitu harga energi (BBM) dan gas serta komoditi pangan (makanan) dan pupuk dan juga obat-obatan naik di pasar dunia, imbas dari perang Rusia Ukrania. Dampaknya negara ini tidak mampu melakukan pembayaran perdagangan internasional (impor) atas komoditas tersebut. Hal ini karena harus menyediakan sejumlah devisa jauh lebih banyak untuk melakukan pembayaran impor ini. Sementara cadangan devisanya pada Maret 2022 yang lalu hanya US $1,9 miliar dan tergerus terus sampai US $1,71 miliar dan terus turun untuk membiayai impor. Inilah awal dari krisis keuangan yang terjadi di Sri Lanka.
BACA:Pertumbuhan Ekonomi, Inflasi, dan Pengangguran di tengah Geopolitik dan Geoekonomi Global
BACA:Klitih dan Jam Malam Bagi Usia Muda di Kota Yogyakarta, Langkah Awal Menyelamatkan Generasi Muda