OPINI Ch Wiwik Sunarni, Dosen Fakultas Bisnis dan Ekonomia UAJY – Saat ini berita kerusakan lingkungan selalu kita dengar setiap saat. Jumlah kasus tidak pernah berkurang namun malah meningkat setiap harinya. Kerusakan lingkungan hidup dapat diartikan sebagai sebagai proses deteriorasi atau kemunduran kualitas lingkungan.
Kemunduran kualitas lingkungan ditandai dengan hilangnya atau berkurangnya sumber air bersih, hilangnya udara yang segar dan punahnya berbagai jenis tumbuhan dan hewan. Peristiwa yang menyebabkan kemunduran kualitas lingkungan dapat berupa Banjir yang semakin meluas, tanah longsor, bau yang menyengat, air sungai yang tercemar, ikan-ikan yang mati dan terdampar di pantai serta kualitas udara yang semakin memburuk.
Kerusakan lingkungan juga terjadi di Indonesia. Bahkan, kualitas udara Indonesia menduduki peringkat terburuk di Asia Tenggara, menempati peringkat 17 negara paling berpolusi di dunia (Kompas.com, 7/4/2021). Udara yang berpolusi berkontribusi buruk terhadap kesehatan manusia misalnya menyebabkan gangguan asma, stroke, penyakit jantung dan paru-paru, serta berbagai permasalahan lain selain kesehatan manusia.
Penyebab Polusi Udara
Banyak faktor yang menyebabkan kerusakan pada lingkungan sekitar kita, bisa karena peristiwa alam dan faktor ulah manusia itu sendiri. Faktor alam misalnya gunung meletus dan mengeluarkan abu vulkanik, angin puting beliung, gempa bumi, tsunami dan juga bisa berasal dari kebakaran hutan.
Faktor manusia bisa berasal dari kendaraan bermotor yang meningkat setiap tahunnya dan aktivitas industri yang tidak terelakan. Industri terutama industri pemanufakturan akan menghasilkan limbah selain produk utamanya.
Limbah bisa berupa limbah padat, limbah cair dan yang paling sulit dikelola adalah limbah gas atau emisi. Emisi yang berwarna hitam, membumbung tinggi melalui cerobong asap pabrik, akan menyebar mengikuti ke mana angin berhembus dan dihirup oleh manusia yang tak terhitung jumlahnya di lokasi yang tidak dapat terdeteksi. Limbah industri ini menjadi salah satu problem yang perlu mendapat perhatian serius oleh para pelaku industri atau perusahaan, pemerintah dan organisasi pemerhati lingkungan.
Para pelaku industri yang dapat disebut produsen limbah memang seharusnya bertanggungjawab akan hal ini. Banyak kegiatan yang telah diupayakan oleh pelaku industri untuk mengelola atau paling tidak melokalisir limbah hasil kegiatan mereka.
Perlu adanya informasi yang menunjukkan sejauh mana para pelaku industri sudah berusaha atau berkegiatan untuk mengelola limbah idustrinya dengan memadai. Para pemerhati lingkungan, masyarakat ingin mengetahui apa yang sudah dilakukan oleh pelaku industri untuk mengurangi dampak limbahnya pada lingkungan termasuk masyarakat sekitar.
Perbedaan Kepentingan, Perbedaan “bahasa”
Dalam upaya memenuhi tuntutan masyarakat dan para pemerhati lingkungan, para pelaku industri perlu mengekspose kegiatan yang telah dilakukan daam hubungannya dengan lingkungan. Demikian juga masyarakat dan pemerhati lingkungan butuh dipuaskan dengan informasi kegiatan lingkungan perusahaan. Seringkali kedua pihak, yaitu pelaku bisnis dan pemerhati lingkungan, dianggap dua pihak yang menggunakan dua “bahasa” yang berbeda.
Pelaku bisnis menggunakan bahasa yang ada hubungannya dengan uang, sedangkan pemerhati lingkungan mengabaikan uang namun mengedepankan kondisi lingkungan yang sulit untuk dinyatakan dalam satuan uang. Pelaku bisnis ingin pengorbanan untuk mengelola lingkungan seminimal mungkin agar labanya tidak berkurang, sedangkan pemerhati lingkungan menginginkan kerusakan lingkungan yang muncul karena kegiatan industri seminimal mungkin. Ibaratnya dua orang yang akan berjabat tangan, namun kebiasaan masing-masing berbeda.
Orang pertama kebiasaaan dalam berjabat tangan dengan mencium tangannya sendiri terlebih dahulu baru mengulurkannya pada orang yang diajak berjabat tangan. Orang kedua punya kebiasaan lain, mengulurkan tangannya untuk berjabat tangan terlebih dahulu baru mencium tangannya. Jika kedua orang yang punya tujuan sama yaitu berjabat tangan, namun kebiasaan dalam berjabat tangan berbeda, maka tangan keduanya tidak akan pernah ketemu.
Akuntansi Manajemen Lingkungan
Para pelaku industri pasti tidak asing dengan istilah akuntansi. Akuntansi yang selama ini dipersepsikan hanya mengurus hal-hal yang bersifat keuangan dapat membantu para pelaku bisnis dalam memberikan informasi tentang aktivitasnya dalam mengelola atau berperan serta dalam mempertahankan kualitas lingkungan. Salah satu bidang akuntansi yaitu akuntansi manajemen yang berorientasi untuk pihak internal, yaitu manajer tanggap akan hal itu dengan menawarkan akuntansi manajemen lingkungan (AML).
Tanpa meninggalkan fungsi utama dari akuntansi, dapat dikatakan bahwa AML menawarkan solusi yang “win-win” antara pelaku bisnis dan pemerhati lingkungan. Akuntansi manajemen lingkungan muncul karena keterbatasan akuntansi manajemen tradisional yang dengan ilmunya yang tidak dapat menangkap isu-isu lingkungan, tidak mampu menyajikan informasi kegiatan lingkungan yang telah dilakukan pelaku bisnis kepada pihak-pihak tertentu terutama pemerhati lingkungan dan masyarakat.
Pengorbanan pelaku bisnis dalam mengelola lingkungan dikenal dengan biaya lingkungan (environmental costs). Biaya lingkungan yang terjadi karena kegiatan produksi perusahaan akan tersembunyi dalam biaya overhead pabrik. Kondisi ini akan menyebabkan membengkak atau overcosted biaya yang diperlukan untuk membuat produknya. Masyarakat lagi yang menanggungnya.
Guna mempertemukan dua pihak yang punya kepentingan berbeda tersebut, yaitu pelaku bisnis dan pemerhati lingkungan, AML melebarkan sayap atau ruang lingkup yang selama ini ada pada akuntansi manajemen yang tidak hanya berfokus pada hal-hal keuangan namun juga melakukan pencatatan dan pelaporan hal-hal fisik yang tidak dapat dinilai dalam satuan uang karena seringkali memang tidak ada nilai uangnya, misalkan limbah.
BACA:Post Truth vs Crowdocracy
BACA:Standar Tinggi Polisi Investigator dalam Penanganan Kejahatan