Pelaku UMKM Perlu Tingkatkan Sadar Pajak

YB Sigit Hutomo, Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Atma Jaya Yogyakarta
YB Sigit Hutomo, Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Atma Jaya Yogyakarta

OLEH: YB Sigit Hutomo, Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Atma Jaya Yogyakarta

Berdasarkan data dari Direktorat Jenderal Pajak Kanwil Daerah Istimewa Yogyakarta, ada 67,68 wajib pajak orang pribadi dan ada 13,3 juta wajib pajak orang pribadi (19,65%) yang melaporkannya.

Dari jumlah yang melaporkan tersebut, yang membayar pajak hanya 11,65%. Demikian pula untuk wajib pajak badan, tercatat ada 4,52 juta terdaftar dan 24,34% di antaranya telah melaporkan SPT.

Namun dari yang melaporkan SPT tersebut hanya 66,55% yang telah membayar pajaknya. Hal ini memberikan gambaran bahwa kesadaran pajak masih cukup rendah.

Kemudahan dalam memenuhi kewajiban pajak pun terus ditingkatkan. Wajib pajak dapat melakukan pembayaran dan pelaporan pajak melalui HP atau komputer. Dengan teknologi informasi yang terus dikembangkan, fasilitas “djp online” memudahkan bagi wajib pajak memenuhi kewajiban bayar dan melaporkannya.

Dengan e-billing wajib pajak dapat menyetorkan pajaknya melalui bank terdekat dan e-spt sebagai sarana untuk melaporkan pajak yang telah dibayarkannya, dapat diakses melalui HP ataupun komputer.

Harmonisasi pajak penghasilan

Pemerintah sebetulnya terus memberikan perhatian kepada para pelaku Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) dalam upaya meningkatkan kepatuhan pajak. Sejak tahun 2013 pemerintah sudah tiga kali merevisi peraturan UMKM.

Dengan Peraturan Pemerintah No 43 tahun 2013, pemerintah memberlakukan pengenaan pajak penghasilan atas omzet atau hasil penjualan sebesar 1% dan bersifat final. Kebijakan ini kemudian direvisi dengan diterbitkannya Peraturan Pemerintah No 23 tahun 2018.

Peraturan ini lebih spesifik memperjelas para pelaku UMKM yang dikelompokkan menjadi dua: wajib pajak orang pribadi dan wajib pajak badan yang memiliki omzet tidak lebih dari Rp 4,8 milyar per tahun. Tarip pajak pun diturunkan menjadi 0,5% dan bersifat final.

Menurut ketentuan, bila omzet UMKM itu kurang dari Rp 400 juta/bulan, maka UMKM wajib membayar, menyetorkan, dan melaporkan pajak maksimum Rp 2 juta. Ketentuan ini hanya berlaku bagi pelaku UMKM yang melakukan usaha bebas, baik untuk UMKM yang melakukan kegiatan bisnis secara konvensional atau offline maupun yang berjualan di toko online (marketplace dan media sosial).

Namun untuk UMKM yang bergerak dalam pekerjaan bebas atau jasa, ketentuan PP No 23 tersebut tidak berlaku, misalnya untuk pengacara, akuntan, arsitek, dokter, konsultan, notaris, PPAT, penilai, aktuaris, agen asuransi, petugas penjaja barang dagangan dan distributor perusahaan pemasaran berjenjang atau penjualan langsung dan kegiatan sejenis lainnya.

Dengan diberlakukan UU Harmonisasi Pajak Penghasilan mulai 1 April 2022, maka UMKM dibedakan berdasar omzet mereka.

BACA: Jiwa Korsa, Pedang Bermata Dua

Untuk UMKM dengan omzet kurang dari Rp 500 juta kini dibebaskan dari pajak. Ini sungguh meringankan bagi pengusaha kecil, seperti warung bakso atau bakmi, toko roti, toko kelontong, jasa bengkel, laundry dsb.

UMKM dengan omzet di atas Rp 500 juta dikenai pajak 0,5% atas selisih nilai di atasnya. Bagaimana cara penghitungan atas penghasilan di atas Rp 500 juta? Berikut ini contoh sederhana. Misalnya, UD. Uyak-Uyuk dimiliki dan dikelola oleh Tuan Ujay Pratama, selama tahun 2022 memiliki peredaran bruto Rp 860 juta.

Karena omzet melampaui Rp 500 juta, maka UD. Uyak-Uyuk akan kena pajak = 0.5% x (Rp 860 juta – Rp 500 juta) = Rp 1.800.000.

Apabila wajib pajak adalah suami-istri yang memiliki usaha bebas dan dikelola sendiri-sendiri, maka ketentuan di muka juga diberlakukan. Penghasilan tidak kena pajak bagi UMKM sebesar Rp 500 juta diterapkan, namun perlu memperhatikan apakah suami-istri itu memiliki NPWP bersama atau NPWP sendiri-sendiri.

Sebagai contoh: Tuan Perkasa Utama membuka bengkel sepeda motor dengan omzet sebesar Rp 800.000.000 per tahun. Dari usaha istrinya yang membuka usaha salon, di samping tokonya, menghasilkan omzet Rp 450.000.000 per tahun. Keduanya telah menikah 2 tahun lalu dan belum memiliki anak.

Atas kegiatan usaha mereka itu, perhitungan PPh nya dilakukan seperti berikut.
Pertama, bila Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) mereka menjadi satu (digabung).

Omzet gabungan = Rp 800.000.000 + Rp 450.000.000 = Rp 1.250.000.000. Pajak penghasilan untuk usaha suami dan istri = 0,5% x (Rp 1.250.000.000 – Rp 500.000.000) = Rp 3.750.000 per tahun. Kalau dihitung per bulan, maka PPh-nya = Rp 3.750.000 : 12 = Rp 312.500.

BACA:OPINI: Menggoreng Minyak Goreng

Kedua, jika NPWP Terpisah atau Bayar Pajak sendiri-sendiri. Omzet suami Rp 800.000.000 dan PPh-nya = 0,5% x (Rp 800.000.000 – Rp 500.0000.000) = Rp 1.500.000, dengan kewajiban pembayaran PPh final dilakukan setiap bulan, maka beban PPh per bulan Rp 1.500.000 : 12 = Rp 125.000. Omzet istri Rp 450.000.000 tidak kena PPh Final karena omzet UMKM masih di bawah Rp 500 juta.

UMKM dengan Status Pengusaha Kena Pajak (PKP)

Bagi UMKM yang melakukan bisnis pengolahan produk, perdagangan, dan jasa kena pajak seyogyanya mulai membuat pencatatan secara tertib dan teratur. Bilamana omzet penjualan sudah melampaui Rp 4,8 milyar, UMKM tersebut akan dikukuhkan sebagai PKP.

Dengan posisi sebagai PKP, wajib pajak tidak hanya bertanggungjawab atas penghasilan saja tetapi juga harus mempertanggung jawabkan PPN atas barang kena pajak atau jasa kena pajak. Pemahaman jenis barang kena pajak atau jasa kena pajak PPN menjadi tugas yang mendasar dan penting. Apalagi penyetoran dan pelaporan PPN wajib dilakukan setiap bulan.

Selain itu, UMKM juga harus memungut atau memotong pajak atas penghasilan para karyawannya yang dikenal sebagai PPh pasal 21. Apabila penghasilan karyawan (bujangan) sudah melampaui Rp 5 juta per bulan, maka perusahaan sudah harus memperhitungkan pajak penghasilan yang harus dipungut atau dipotongnya. Pemotongan dan pelaporan PPh pasal 21 ini wajib dilakukan secara bulanan.

Ketika bisnis terus berkembang, kemungkinan dana perusahaan diinvestasikan dalam bentuk asset deposito atau surat berharga (obligasi atau saham), maka wajib pajak UMKM perlu memahami bentuk dan jenis penghasilan investasi sebagaimana diatur dalam UU PPh pasal 23. Perusahaan perlu secara cerdas memilih investasi yang terbaik karena begitu banyak jenis penghasilan investasi dan tarip pajaknya serta sifat pengenaan pajaknya pun beragam.

Urgensi sadar pajak

Perlu digarisbawahi bahwa dengan sadar pajak, wajib pajak UMKM akan terbantu dalam melakukan kewajiban pajak mereka. Perlu kita pahami juga bahwa regulasi pajak UMKM selalu akan berubah, sehingga menyegarkan informasi pajak terkini wajib dilakukan terutama terkait dengan tarip pajak dan omzetnya.

Wajib pajak semakin menyadari kewajiban perpajakan mereka semakin memudahkan kelancaran bisnis mereka.

BACA:Disrupsi dan Konsolidasi Demokrasi

Setidaknya setiap pelaku bisnis UMKM wajib memiliki Nomor Pokok Wajib Wajib (NPWP), terutama bagi wajib pajak orang pribadi. Sebagaimana kita ketahui bahwa KTP atau NIK akan diberlakukan sebagai NPWP. Mari kita tingkatkan terus pemahaman pajak agar kita makin sadar terhadap kewajiban pajak.(*)