Belajar dari Pengalaman Reformasi Polisi di Inggris: Polri Bukan Sambo

Dr Andry Wibowo Sik MH Msi
Dr Andry Wibowo Sik MH Msi

OLEH  Dr  Andry Wibowo Sik MH MSi – Lahirnya kepolisian modern di Inggris yang terjadi lebih kurang 200 tahun lalu merupakan dampak dari sebuah perubahan sosial pada awal revolusi industri.

Perubahan dipicu kekerasan terbuka yang dilakukan polisi Inggris kepada para demonstran dari kaum pekerja. Kondisi yang mengakibatkan instabilitas keamanan di Inggris, bahkan mengganggu stabilitas politik monarki pada masa itu.

Untuk mencegah meluasnya instabilitas baik dalam sisi keamanan maupun politik, penguasa monarki Inggris menugaskan Perdana Menteri Sir Robert Peel melakukan penataan kepolisian di Inggris. Sejak tahun 1829 pemerintah kota London menjalankan Metropolitan Police Act, yang intinya adalah menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat. Atas upaya ini, di kemudian hari Robert Peel dikenal sebagai bapak polisi modern.

Berbagai upaya penataan dilakukan Peel terhadap institusi kepolisian Inggris (London Metropolitan Police). Baik yang bersifat struktural dengan menempatkan kepolisian Inggris langsung di bawah kekuasaan Prime Minister. Hingga penataan doktrin melalui modernisasi nilai-nilai kepolisian yang kemudian dikenal dengan sembilan prinsip Peel. Doktrin kepolisian Inggris menginspirasi kepolisian dunia sebagai upaya modernisasi kepolisian di bawah rezim demokrasi.

Kepolisian dalam negara modern memiliki fungsi dasar menciptakan keteraturan dan harmoni sosial. Kepolisian hadir untuk memastikan bekerjanya birokrasi sesuai dengan hukum dan mandat birokrasi (public and state order based on the supremacy of law). Dengan menggunakan prinsip sederhana, “birokrasi yang bekerja secara baik akan menciptakan publik yang teratur.”

Proses modernisasi kepolisian ini terjadi karena dua hal, pertama faktor yang berpengaruh (driving force) seperti perubahan lingkungan sosial. Kedua, terjadinya incident critical yang mendorong terciptanya perubahan lebih lanjut.

Pilihan sikap politik dalam mengambil jalan demokrasi atau junta militer, akan sangat berpengaruh pada pola gerak institusi kepolisian menjadi demokratis atau militeristik. Sesuai dengan prinsip umum dalam sebuah perubahan sosial, lingkungan akan membentuk perilaku.

Sedangkan perubahan yang terjadi akibat critical incident, biasanya diawali penyalahgunaan kewenangan dalam birokrasi. Sehingga secara dialektis membutuhkan ruang koreksi kebijakan sebagai landasan dalam menyusun strategi pengembangan birokrasi. Kedua hal diatas menjadi faktor yang saling terkait dalam melahirkan perubahan kepolisian di dunia.

Lalu bagaimana dengan Polri ? Penataan Polri telah menjadi bagian dari sejarah perubahan lingkungan global dan nasional pasca kemerdekaan, masa orde baru hingga gelombang demokratisasi 1998. Penataan Polri selaras dengan nafas perubahan politik global dan nasional. Meskipun tidak banyak merubah fungsi dan peran dasar universal Polri pada urusan hukum dan keamanan.

Pada masa awal reformasi, penataan kepolisian berawal dari kehendak masyarakat yang menginginkan Polri menjadi demokratis, meninggalkan cara-cara militeristik saat masih berada dibawah ABRI. Masyarakat berharap Polri mampu mengembangkan organisasinya berdasarkan kompetensi personil yang sesuai dengan prinsip profesionalisme.

Kemudian Polri menyusun grand strategi reformasi kepolisian yang mencakup penataan dalam bidang instrumental, struktural dan kultural. Penataan instrumental Polri melahirkan Undang-Undang No.2 Tahun 2022 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia serta berbagai peraturan turunannya hingga pada level teknis.

Penataan struktural meliputi pemantapan dan pengembangan struktur polri yang mandiri dari pusat hinga lini terdepan. Untuk memastikan chain of command organisasi bekerja secara efektif dan efisien. Sehingga visi misi organisasi dalam bidang hukum dan keamanan dapat dirasakan masyarakat. Dan yang terakhir penataan budaya Polri menjadi aparatur kepolisian yang profesional dan demokratis.

Reformasi tahap pertama Polri dilakukan melalui tiga fase. Pertama, membangun trust building, kedua partnership building dan terakhir strive for excellent. Ketiga tahapan tersebut dilakukan sejak awal tahun 2005 dan akan berahir pada tahun 2025.

Perjalanan reformasi Polri tentunya mengalami pasang surut sejalan dengan pergantian kepemimpinan nasional dan kepimpinan di tubuh Polri sendiri. Reformasi Polri dalam realitanya sangat dipengaruhi oleh kualitas kepemimpinan, khususnya figur top leader organisasi yang menjadi kunci keberhasilannya.

Sebagai organisasi semi militer, figur kepemimpinan merupakan faktor yang sangat menentukan wajah Polri dalam menjalankan roda organisasinya. Hal ini dapat ditelusuri pada dinamika sejarah kepemimpinan di dalam Polri.

Kasus penembakan yang terjadi di Duren Tiga jelas sangat mencoreng wajah Polri. Mendegradasi prestasi yang pernah diraih Polri dalam pengelolaan hukum dan keamanan secara umum. Kita tentunya bersepakat, apa yang dilakukan Sambo merupakan tragedi spesifik yang tidak berlaku secara umum. Dengan kata lain perilaku Sambo bukanlah cerminan watak umum dari personil kepolisian Republik Indonesia.

Namun karena peristiwa ini dilakukan seorang perwira tinggi yang berada pada top manajemen, menjadi lumrah jika peristiwa ini memicu (trigger) dan mendorong (driving force) institusi Polri untuk memeriksa kembali road map penataan Polri pada era reformasi.

Mereview kembali road map penataan polri yang sudah terjadi selama ini. Melakukan perbaikan pembinaan dan pengembangan kapasitas anggota polri yang berada pada level pimpinan, khususnya alumni Akademi Kepolisian (Akpol) yang menjadi sumber utama kepemimpinan strategis Polri.

Sebagai tragedi yang memiliki dampak serius bagi reputasi organisasi, sudah sepatutnya institusi Polri menjadikan peristiwa ini momentum untuk melakukan re-ordering (menata ulang) institusi. Mengembalikan jati diri Polri sesuai mandat konstitusi dan mandat reformasi.

BACA:Irjen Ferdy Sambo Dalang Pembunuhan Brigadir Joshua Terancam Hukuman Mati

BACA:Jiwa Korsa, Pedang Bermata Dua