OLEH: Slamet S Sarwono – Seorang pemikir manajemen sekali waktu bertanya apakah kita ingin membuat keputusan keliru? Kemudian beliau mengatakan bahwa hal itu mudah jika kita mendapatkan bantuan dari kawan-kawan atau tim.
Siapkan dan hubungi beberapa rekan kerja yang memiliki esprit de corps tinggi dan cenderung berpendapat sama serta dalam suasana hati yang menghargai kebersamaan dalam pengambilan keputusan.
Maka pasti akan terjadi keputusan yang keliru. Esprit de corps adalah perasaan berbangga, bersekutu, harmonis dan dengan perasaan setia kawan tinggi dimiliki oleh anggota kelompok tertentu. Keputusan keliru tersebut laksana pencapaian sebuah konsensus yang dipaksakan.
Situasi pengambilan keputusan yang keliru itu dapat kita lihat pada sebuah kasus yang telah menyita perhatian masyarakat di Indonesia. Kasus itu adalah kasus terbunuhnya seorang polisi yang berpangkat Brigadir. Tampaknya keputusan keliru itu sudah diambil oleh atasan polisi yang berpangkat Brigadir tersebut.
Sindrom groupthink
Kasus terbunuhnya seorang Brigadir polisi dapat dipakai menjadi contoh kekeliruan keputusan yang menyebabkan kekacauan atau paling tidak ketidaknyamanan. Kekeliruan pengambilan keputusan itu terjadi karena adanya kepaduan (cohesiveness) antara pengambil keputusan dengan kawan atau orang-orang di sekitarnya.
Dalam literatur manajemen, sindrom keputusan keliru itu disebut groupthink. Sindrom ini dikenal sebagai salah satu penyebab kegagalan keputusan manajerial, keputusan tidak sempurna, cacat atau hanya akan menguntungkan segelintir orang.
Istilah groupthink dicetuskan pertama kali oleh Professor Irving Janis dari Yale University setelah menganalisis kasus kegagalan keputusan pemerintah Amerika Serikat saat melakukan invasi ke Kuba pada bulan April 1971.
Kasus ini kemudian dikenal dengan kasus Bay of Pigs. Dalam kasus ini diceritakan adanya kepaduan erat antara Presiden Amerika Serikat waktu itu, John F Kennedy dan para pembantu dekatnya.
Menurut Professor Janis, sindrom groupthink adalah cara berpikir yang digunakan oleh sekelompok pengambil keputusan dengan tingkat kepaduan (cohesiveness) tinggi. Dalam proses ini pemimpin dan anggota kelompok berusaha untuk mencapai suara bulat atau konsensus dan mengesampingkan alternatif lain mungkin lebih realistis.
Dengan kata lain, kepaduan yang ingin tetap dipertahankan oleh kelompok pengambil keputusan merupakan pendorong terjadinya sindrom groupthink.
Kegagalan suatu keputusan yang diambil disebabkan oleh para anggota kelompok pengambil keputusan cenderung menghindari perdebatan dan perbedaan pendapat serta tidak mengajukan keberatan-keberatan terhadap argumen yang lemah.
BACA: Post Truth vs Crowdocracy
Tingginya tingkat kepaduan kelompok yang berinteraksi dengan kesalahan-kesalahan struktural organisasi, seperti misalnya terjadinya sekat-sekat antar kelompok, kurangnya norma-norma keorganisasian, dan tingginya homogenitas kelompok membuat sindrom groupthink mudah sekali terjadi.
Menurut Janis, terjadinya sindrom groupthink dapat diamati melalui tanda-tanda seperti adanya ilusi kekebalan, rasionalisasi kolektif, ilusi kekuasaan untuk menekan secara langsung pihak-pihak yang tidak sependapat.
Sindrom Groupthink juga dapat didorong oleh adanya kesetiaan yang berlebihan atau kesetiaan buta terhadap kelompok, kesombongan, dan keyakinan yang berlebihan. Jika tanda-tanda tersebut di atas muncul maka kemungkinan besar keputusan-keputusan yang dibuat tidak sempurna, cacat dan hanya akan menguntungkan sekelompok orang.
Ketidaksempurnaan suatu keputusan dapat juga dilihat pada kurang lengkapnya meneliti setiap alternatif keputusan, kurang lengkapnya langkah penentuan tujuan pengambilan keputusan, kurangnya usaha untuk mengidentifikasi resiko-resiko yang mungkin terjadi, dan mungkin juga karena terjadinya penyimpangan analisis.
Konflik terprogram, mencegah sindrom groupthink
Kekeliruan pengambilan keputusan dapat dihindari dengan membudayakan perbedaan pendapat atau melalui konflik terprogram (programmed conflict). Konflik atau kontroversi selalu dapat terjadi dalam proses pengambilan keputusan.