SURYAYOGYA.COM – Dengan tingkat suku bunga tabungan yang relatif rendah beberapa tahun ini, banyak orang yang mulai memikirkan alternatif investasi lain yang lebih menguntungkan dan dianggap mampu untuk melindungi nilai aset dari gerusan inflasi. Salah satu alternatif yang cukup populer saat ini adalah berinvestasi saham dengan menggunakan metode value investing. Dengan metode ini investor membeli saham perusahaan yang memiliki harga pasar di bawah nilai wajarnya, yang sering dikenal dengan istilah undervalued stocks, menahannya untuk beberapa waktu, kemudian menjualnya kembali pada saat harga saham perusahaan sudah sama dengan atau di atas nilai wajar saham tersebut.
Teknik value investing tidak dapat dipisahkan dari nama Benjamin Graham, tokoh yang mendapat julukan sebagai Bapak Value Investing. Benjamin Graham merupakan salah satu investor paling hebat, yang pemikirannya mengubah cara banyak orang berinvestasi pada saham. Sebelum jaman Benjamin Graham, banyak orang yang memperlakukan saham seperti judi atau permainan tebak-tebakan.
Dalam bukunya yang paling terkenal yang berjudul “The Intelligent Investor”, yang pertama kali diterbitkan pada tahun 1949, Benjamin Graham menulis bahwa orang yang membeli saham harus menganggap saham yang dibelinya sebagai kepemilikan dalam perusahaan. Dengan pola pikir demikian, menurut Graham, orang tidak akan dibuat gelisah oleh fluktuasi harga saham. Hal ini disebabkan karena dalam jangka pendek, pasar saham berperilaku bagaikan mesin voting, di mana pasar akan menaikkan atau menurunkan harga saham perusahaan yang sedang populer pada waktu itu. Namun dalam jangka panjang, pasar saham akan berperilaku seperti mesin timbang, di mana, dalam jangka panjang, harga pasar suatu saham akan mencerminkan nilai yang sesungguhnya dari saham perusahaan tersebut. Itulah sebabnya, Graham menyarankan agar seorang investor melakukan riset dan analisis mendalam terlebih dahulu untuk menentukan nilai intrinsik saham perusahaan, sebelum membuat keputusan dalam berinvestasi saham.
Teknik value investing yang digunakan oleh Benjamin Graham merupakan hasil dari pengalamannya sendiri. Dalam catatannya mengenai Benjamin Graham, Jason Zweig menceritakan kisah pengalaman pahit yang dialami oleh Graham dan bagaimana pengalaman buruk tersebut menginspirasi Graham untuk membangun prinsip-prinsip investasi saham yang kemudian dikenal dengan sebutan value investing.
Dilahirkan di London, Inggris, pada tanggal 9 Mei 1894 dengan nama Benjamin Grossbaum, ayahnya merupakan seorang pedagang furnitur yang sukses. Keluarga Graham lalu pindah ke New York, Amerika Serikat, pada saat ia masih berusia satu tahun. Namun, ketika ayah Graham meninggal dunia pada tahun 1903, keluarga Graham pelahan-lahan jatuh miskin. Ibu Graham mencoba mempertahankan keuangan keluarga dengan mengubah rumah mereka menjadi tempat indekos, namun kemudian mengalami kebangkrutan ketika ia melakukan trading saham dengan uang hasil pinjaman.
Nasib Graham mulai berubah ketika ia memenangkan beasiswa di Columbia University. Lulus pada tahun 1914 di usia 20 tahun, Graham menolak berbagai tawaran untuk bekerja sebagai akademisi dan memutuskan untuk berkarir di Wall Street. Graham memulai karirnya sebagai
juru tulis di sebuah perusahaan yang memperjualbelikan obligasi, lalu menjadi analis, kemudian menjadi mitra, hingga pada akhirnya ia menjalankan perusahaan investasinya sendiri.
Benjamin Graham akhirnya menjadi seorang ahli dalam menemukan saham perusahaan yang memiliki harga pasar di bawah nilai intrinsiknya (undervalued stocks). Dalam buku yang ditulisnya, Graham memersonifikasikan pasar saham sebagai Mr. Market yang selalu mendatangi rumah orang-orang untuk menawarkan saham dengan harga yang berbeda setiap harinya. Kadangkala harga saham yang ditawarkan oleh Mr. Market tersebut cukup masuk akal, namun terkadang juga sangat tidak masuk akal. Investor memiliki kebebasan untuk menerima atau menolak tawaran Mr. Market.
Harga saham yang berbeda-beda yang ditawarkan oleh Mr. Market, dalam alegori Graham tersebut, menggambarkan pergerakan harga saham yang fluktuatif setiap hari. Investor seharusnya dapat mengambil keuntungan dengan memanfaatkan perilaku Mr. Market yang kadang tidak rasional, yaitu dengan membeli saham ketika Mr. Market menawarkan saham perusahaan yang bagus dengan harga yang murah dan tidak mencerminkan kondisi perusahaan atau nilai intrinsik perusahaan yang sesungguhnya. Menurut Graham, investor akan mendapatkan hasil yang lebih baik jika ia memusatkan perhatian pada kinerja perusahaan yang sesungguhnya dan dividen yang diterimanya daripada memperhatikan pergerakan harga saham harian yang terkadang tidak rasional.
Graham seringkali mengumpamakan pasar saham sebagai sebuah pendulum yang selamanya bergerak bolak-balik dari titik optimisme yang irasional, di mana harga saham biasanya akan menjadi terlalu mahal, ke titik pesimisme yang berlebihan, di mana harga saham akan menjadi terlalu murah. Investor yang cerdik, menurut Graham, adalah orang yang membeli saham dari orang-orang pesimis dan menjualnya kepada orang-orang optimis.
Prinsip inilah yang membuat Graham mampu bertahan melewati keruntuhan Bursa Saham Wall Street tahun 1929-1932 dan menuai hasil berlimpah dari membeli saham-saham perusahaan pada saat harganya hancur lebur dan menjualnya kembali pada saat pasar saham kembali pulih. Jason Zweig dalam catatannya memperkirakan bahwa perusahaan investasi Graham, sejak tahun 1936 hingga Graham pensiun pada tahun 1956, berhasil meraup keuntungan tahunan
sekitar 14,7 persen, yang merupakan salah satu keuntungan jangka panjang terbaik dalam sejarah Bursa Saham Wall Street.
Prinsip-prinsip investasi Benjamin Graham kini banyak digunakan di dalam dunia investasi, termasuk oleh Warren Buffett, salah satu murid Graham, yang kini menjadi salah satu investor saham paling terkenal di dunia. (*)
Oleh:
Wimpie Yustino Setiawan, dosen Fakultas Bisnis dan Ekonomika, Universitas Atma Jaya Yogyakarta