
OLEH: Andreas Sukamto – Dosen Prodi Ekonomi Pembangunan Fakultas Bisnis dan Ekonomika Universitas Atma Jaya Yogyakarta
Inflasi dan suku bunga merupakan isu penting untuk diamati pasca invasi Rusia ke Ukrania. Dampak dari perang ini menyebabkan harga-harga kebutuhan primer seperti energi (BBM) dan gas serta komoditi pertanian (pangan) dan pupuk melambung tinggi. Hal ini karena kedua negara sebagai pemasok utama dunia atas komoditas tersebut. Ditambah boikot negara-negara Uni-Eropa atas Rusia dan proteksionisme yang dilakukan oleh beberapa negara seperti India yang melarang ekspor komoditi pertaniaannya (gandum). Semuanya itu berimbas pada lonjakan inflasi di banyak negara.
Kondisi ini membuat para penentu kebijakan ekonomi di dunia berupaya untuk mengendalikannya, terutama melalui kebijaksanaan moneter dengan mengerek suku bunga acuan atau kontraksi moneter lainnya yang dilakukan oleh Bank Sentral masing-masing negara.
Inflasi versus Suku Bunga
Inflasi adalah salah satu penyakit utama di dalam konteks ekonomi makro, di samping pertumbuhan ekonomi dan pengangguran. Inflasi menunjukkan keadaan perekonomian di mana harga-harga secara umum (price level) naik dalam kurun waktu yang panjang.
Mengutip data yang dirilis oleh CNN Indonesia, pada bulan Juni 2022 yang lalu inflasi di Amerika Serikat melonjak menjadi 9,1%, tertinggi selama 40 tahun terakhir. Di Uni Eropa melonjak menjadi 9,6%. Pada bulan Juli 2022 di Inggris 10,1% dan di Rusia 15,1%. Sedangkan di Brasil 11,89 %, di Spanyol 10,2 %, di Belanda 8,6 % di Itali 8 %, di Meksiko 7,99 %, di Kanada 7,7 %, di Jerman 7,6 %, di India 7,01 %, di Afrika Selatan 6,5 %.
Di negara-negara Asean inflasi tertinggi dialami Laos sebesar 23,6% pada bulan Juni 2022. Sedangkan pada bulan Juli 2022 di Thailand 7,61%, di Kamboja 7,8%, di Filipina 6,4%, di Indonesia 4,94%, di Vietnam 3,14%. Pada Bulan Juni 2022 di Singapura 6,7%, di Malaysia 3,4%. Sedangkan pada bulan Mei 2022 di Brunei Darussalam 3,8% dan pada bulan April 2022 di Myanmar 17,78%. Sementara 10 negara dengan inflasi tertinggi di dunia adalah di Venezuela (222%), Sudan (221%), Lebanon (206%), Syria (131%), Zimbabwe (132%), Turki (78,6%), Suriname (59,8%), Argentina (71%), Iran (39,3%) dan Sri Lanka diproyeksikan di atas 70%.
Dari data inflasi tersebut, sebagian negara masuk ke dalam kategori inflasi berat, yaitu berada di atas 30%. Beberapa negara masuk dalam kategori hiperinflasi, yaitu di atas 100%. Sedangkan inflasi sedang antara 10%-30% setahun dan inflasi ringan berada di bawah 10% setahun (Boediono,1992).
Pada saat inflasi tetap tinggi, maka suku bungapun tidak mungkin ditekan rendah. Oleh karena itu untuk mengatasi permasalahan inflasi ini, banyak Bank Sentral di seluruh dunia beramai-ramai mengerek suku bunga acuannya. Pada, 15 Juni 2022 yang lalu, Bank Sentral Amerika Serikat (The Federal Reserve) telah merilis kebijakan moneternya dengan menaikkan suku bunga acuannya dari 0,75% menjadi 1,75% untuk meredam inflasi sebesar 8,5%. Kebijakan moneter dari The Fed ini adalah dalam upaya untuk menekan inflasi dan harga-harga yang terus naik sejak bulan Maret 2022 yang lalu. Sebagai imbas dari perang Rusia-Ukrania yang dimulai 22 Februari 2022. Sedangkan pada bulan Juni ini inflasi di Amerika Serikat sudah melonjak menjadi 9,1%. Lonjakan inflasi ini lantas mendorong The Fed berencana lagi untuk menaikkan suku bunga dengan lebih agresif, dari 50 bps menjadi 75 bps atau menjadi 2,25% sampai 2,5%.
Sementara di negara-negara Uni Eropa pada bulan Juni 2022 inflasi tahunan melonjak menjadi 9,6%. Untuk menahan laju inflasi serta kenaikan harga-harga Bank Sentral Eropa (ECB) menaikkan suku bunga acuan 50 basis poin (bps) atau 0,5%. Ini untuk pertama kalinya ECB menaikkan suku bunga acuannya selama 11 tahun terakhir demi mengatasi lonjakan inflasi.
BACA:Kerusakan Lingkungan, Perlu Jembatan antara Perusahaan dan Pemerhati Lingkungan