OLEH : I Agus Wantara Drs MSi – Pertumbuhan ekonomi Indonesia saat ini mencapai 5,44%, namun pertumbuhan ekonomi dunia cenderung turun dan mengarah ke terjadinya resesi ekonomi.
Oleh karena itu, seperti dikatakan oleh Presiden Jokowi, kita harus hati-hati terutama dalam hal pengelolaan pengeluaran pemerintah. Pengeluaran ditujukan ke kegiatan yang produktif, dan pengeluaran untuk hal-hal yang tidak produktif tidak perlu dilakukan, misalnya perjalanan ke luar negeri bagi pejabat baik pusat maupun daerah.
Ketika ekonomi cenderung ke arah resesi, tentu sangat diperlukan campur tangan pemerintah untuk mendorong perekonomian dan itu berarti naiknya penegeluaran pemerintah. Di sisi lain dalam kondisi tersebut penerimaan pajak akan berkurang.
Hal ini akan menyebabkan defisit anggaran (APBN) meningkat. Jika kita melihat ke belakang, seperti dikatakan Menteri Keuangan Sri Mulyani, pada tahun 2020 defisit anggaran melebar mencapai 6,09 persen terhadap PDB dan di tahun 2021 mencapai 4, 65 persen karena untuk penanganan pandemi Covid-19.
Untuk tahun 2023 direncanakan defisit anggaran sebesar 2,85 persen terhadap PDB, kembali ke level di masa pra pandemi yaitu di bawah 3 persen terhadap PDB.
Belum lagi sekitar 2 tahun lagi Indonesia melakukan hajatan besar yaitu pemilu 2024 di mana untuk penyelenggaraannya dibutuhkan dana yang sangat besar dan itu harus disediakan oleh pemerintah.
Pada hal pengeluaran untuk pemilu tersebut merupakan pengeluaran sosial, bukan merupakan pengeluaran untuk kegiatan produktif. Oleh karena itu dalam kurun waktu sampai 2 tahun ke depan tugas pemerintah sangat berat, karena harus menghadapi dua hal sekaligus yaitu kecenderungan resesi ekonomi dan juga penyelenggaraan pemilu.
Dalam hal ini tentu memerlukan pengeluaran pemerintah yang jauh lebih besar dari sebelumnya, sehingga defisit anggaran akan melonjak.
Menutup defisit anggaran
Anggaran surplus ataupun anggaran berimbang, bagi pemerintah relatif tidak begitu menimbulkan masalah bila dibandingkan dengan anggaran defisit. Untuk menutup defisit anggaran ada beberapa cara yang bisa dilakukan oleh pemerintah, dengan mencetak uang atau melakukan pinjaman atau hutang.
Jika defisit anggaran pemerintah ditutup dengan cara pemerintah melalui Bank Sentral mencetak uang baru, maka jumlah uang beredar meningkat dan akibatnya tingkat harga umum akan melambung dengan kata lain inflasi akan melonjak naik.
Inflasi yang cukup tinggi ini merupakan salah satu masalah dalam ekonomi. Inflasi cenderung lebih merugikan bagi masyarakat yang berpenghasilan tetap, karena terjadi penurunan kemampuan konsumen dalam membeli barang.
Di sisi lain inflasi bisa juga terjadi pada faktor produksi atau input artinya harga input naik. Kenaikan harga input berarti pula kenaikan biaya produksi. Karena biaya produksi naik maka produsen akan menaikkan harga produk (barang) yang ditawarkan.
Jika produk tersebut selain dijual di dalam negeri, juga dijual di luar negeri, dengan kurs mata uang yang sama, produk tersebut terasa lebih mahal bagi orang asing (pengimpor) dan ekspor akan turun. Karena berdampak pada inflasi maka pemerintah tidak mencetak uang baru untuk menutup (membiayai) defisit anggaran yang terjadi.
Untuk menutup defisit anggaran, pemerintah bisa pula melakukan pinjaman atau hutang, yaitu: hutang luar negeri, dan hutang dalam negeri. Pertama, hutang luar negeri. Untuk menutup defisit anggaran, pemerintah melakukannya dengan cara melakukan pinjaman atau hutang dari negara lain atau dari lembaga keuangan internasional.
Pada masa Orde Baru (1966 – 1998) ada beberapa lembaga ekonomi yang membantu memberikan pinjaman kepada Indonesia melalui Inter Governmental Group on Indonesia (IGGI) yang kemudian bubar dan diganti dengan Consultative Group on Indonesia (CGI), World Bank dan International Monetary Fund (IMF).