
OPINI: Andreas Sukamto – Dewasa ini perekonomian dunia dilanda isu inflasi, sebagai imbas dari geopolitik dan geoekonomi serta geostrategis global. Hal ini menyebabkan harga-harga, terutama kebutuhan primer, melambung tinggi seperti BBM dan gas, komoditi pertanian (gandum, beras) serta pupuk, juga terjadi krisis keuangan.
Di samping itu juga diprediksi bahwa 35 negara akan melakukan proteksionisme, yaitu melarang ekspor komoditas pertaniannya. Sebagai contoh adalah India yang baru-baru ini telah melarang ekspor komoditi gandum, beras dan gula.
Padahal India termasuk salah satu negara sebagai pemasok utama komoditas tersebut. Di luar itu, negara-negara Uni Eropa juga melakukan boikot terhadap Rusia.
Semuanya itu berimbas pada kenaikan inflasi di banyak negara, baik di negara-negara maju maupun di negara-negara sedang berkembang. Untuk menahan laju inflasi ini, bank sentral di banyak negara beramai-ramai mengerek suku bunga acuannya melalui kebijaksanaan moneter (monetary policy) atau instrumen moneter counter cyclical, baik secara agresif (Hawkish) maupun tidak agresif (Dovish).
Hawkish versus Dovish dalam kebijaksanaan moneter
Instrumen kebijaksanaan moneter yang banyak dipakai oleh para penentu kebijaksanaan moneter (bank sentral) di banyak negara dewasa ini adalah melalui instrumen kebijaksanaan diskonto (discount rate policy). Instrumen ini dilakukan dengan mempengaruhi suku bunga secara langsung oleh bank sentral.
Melalui instrumen ini bank sentral bisa menaikkan atau menurunkan suku bunga (interest rate) secara langsung dalam upaya mengendalikan stabilitas perekonomian, baik pada saat perekonomian mengalami inflasi maupun pada saat tingkat pengangguran tinggi (deflasi). Pada saat kondisi perekonomian dunia mengalami inflasi tinggi dewasa ini, tidak mungkin suku bunga dikendalikan rendah. Oleh karena itu banyak bank sentral di dunia lalu beramai-ramai mengerek suku bunga acuannya, baik secara agresif (Hawkish) maupun tidak agresif (Dovish).
Bank sentral yang sangat agresif (Hawkish) dalam mengerek suku bunga acuannya adalah The Federal Reserve (the Fed). Pada bulan Maret 2022 yang lalu inflasi di Amerika Serikat melonjak menjadi 8,5%. The Fed mulai mengerek suku bunga acuannya dari 0,75% menjadi 1,75% untuk meredam inflasi 8,5%. Sedangkan pada bulan Juni 2022 yang lalu, inflasi di Amerika Serikat melonjak menjadi 9,1%. The Fed lebih agresif lagi menaikkan suku bunga acuannya dari 50 basis poin (bps) menjadi 2,25% sampai 2,5%, dan diprediksi akan lebih agresif lagi.
Pada bulan September 2022, the Fed kembali mengerek suku bunga acuannya lebih agresif lagi sebesar 75 bps menjadi 3% sampai 3,25% untuk meredam inflansi sebesar 8,3%.
Bank Sentral di negara-negara Uni Eropa, seperti Bank Sentral Eropa (European Central Bank/ECB) pada bulan Juni 2022 menaikkan suku bunga acuan 50 basis poin (bps) atau 0,5% untuk menekan laju inflasi tahunan yang melonjak menjadi 9,6%. Ini untuk pertama kalinya ECB menaikkan suku bunga acuannya selama 11 tahun terakhir demi mengatasi lonjakan inflasi.
Bank Sentral Inggris (Bank of England) menaikkan suku bunga acuannya sebesar 0,5% menjadi 2,25% untuk meredam inflasi sebesar 10,1%. Bank Sentral Swiss menaikkan suku bunga acuannya 75 bps menjadi 0,5% untuk menahan inflasi 3,5% pada bulan agustus 2022. Pada saat yang sama Bank Sentral Norwegia menaikkan suku bunga sebesar 0,5% menjadi 2,25% untuk menahan tingkat inflasi 6,5%.
Langkah ini juga diikuti oleh Bank Sentral di beberapa negara sejak awal Juni 2022 yang lalu demi meredam inflasi, seperti: di Sri Langka suku bunga acuan naik 850 bps menjadi 13,25%, di Brasil naik 400 bps menjadi 13,25%, di Meksiko naik 150 bps menjadi 7%, di Kanada naik 125 bps menjadi 1,5%, di Filipina naik 125 bps menjadi 3,5%, di Rusia naik 100 bps menjadi 9,5%, di India naik 90 bps menjadi 4,9%, di Korea Selatan naik 75 bps menjadi 1,75%, di Argentina naik 3700 bps untuk meredam inflasi yang sudah menyentuh 83% pada bulan September 2022.
Bank Indonesia yang sebelumnya dikenal tidak agresif (Dovish) belakangan ini juga mulai agresif (Hawkish) di dalam mengerek suku bunga acuannya demi menahan laju inflasi. Bulan Agustus 2022 yang lalu, Bank Indonesia menaikkan suku bunga acuannya menjadi 3,75% dari 3,5% sebelumnya, demi untuk menahan inflasi sebesar 4,94%. Kemudian bulan September 2022, Bank Indonesia memutuskan untuk menaikkan suku bunga acuannya sebesar 50 bps menjadi 4,25% untuk menahan inflasi sebesar 4,64%. Bulan September 2022 ini, sebagaimana dirilis oleh BPS inflasi tahunan (yoy) sebesar 5,95% dan diprediksi oleh Bank Indonesia inflasi akhir tahun lebih dari 6%.
Dari ilustrasi di atas, tidak mungkin menekan suku bunga serendah mungkin saat inflasi tetap tinggi. Oleh karena itu banyak negara mulai agresif (Hawkish), mengerek suku bunga acuannya melalui kebijaksanaan moneter.