
Creating Value dan Profitability
YOGYAKARTA, SURYAYOGYA.COM – Tren digitalisasi Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) pasca pandemi diharapkan terus dapat bertumbuh pesat untuk mendukung perekonomian. Keberadaan industri perbankan sebagai tonggak perekonomian nasional didorong untuk melakukan transformasi lebih cepat ke arah digital. Proses digitalisasi perbankan bukan semata-mata dilihat dari sudut pandang kemampuan, namun yang lebih penting adalah nilai tambah apa yang ditawarkan bagi nasabahnya, termasuk UMKM.
Digitalisasi perbankan mampu membawa nilai tambah bagi nasabah karena nasabah dapat bertransaksi tanpa harus datang ke kantor cabang bank. Selain menawarkan nilai tambah bagi nasabah sebagai commercial player, bank harus juga mampu menciptakan profit bagi perusahaannya dengan cara menciptakan efisiensi penyaluran produk layanan digital.
Beberapa peran bank dalam mendukung tren digitalisasi UMKM dimulai dari pembukaan rekening, transaksi pembayaran hingga pembiayaan keuangan. Nasabah UMKM dapat membuka rekening dengan lebih sederhana, melalui verifikasi database di Dukcapil, tanpa melalui tahapan wawancara. Bank Indonesia selaku regulator mendukung pertumbungan UMKM, melalui sistem pembayaran QR dan BI Fast, di mana biaya pemindahan dana lebih ekonomis dari rata-rata berbiaya Rp 6.500,- menjadi Rp 2.500,-. Selain itu, digital platform memungkinkan bank dan nasabah terintegrasi dengan beberapa ekosistem bisnis dari e-commerce b to b, proses perijinan, hingga fasilitas pembiayaan keuangan.
Digitalisasi Siklus Akuntansi
Dari perspektif akuntansi, digital mindset dari organisasi adalah tantangan terbesar dalam sebuah transformasi digital. Proses digitalisasi harus dipahami oleh pihak internal perusahaan. Jika tidak demikian maka proses digital hanya akan dimaknai sebagai perubahan proses manual ke proses platform digital
berbasis teknologi. Nyatanya siklus akuntansi berbasis digitalisasi tidak bisa mengadopsi alur proses manual, digitalisasi adalah mengenai menyederhanaan proses, peningkatan produktifitas, efisiensi dan otomatisasi kontrol.
Digitalisasi perbankan khususnya bank konvensional berada pada tiga fokus area. Pertama, teknologi memudahkan sistem operasional, di mana semua proses internal tidak hanya harus siap secara digital namun juga harus diselenggarakan secara efisien untuk memaksimalkan return perbankan. Kedua, digital platform untuk customer harus relevan secara sistem akuntansi dan mencangkup beberapa segmen pelanggan termasuk nasabah mikro. Ketiga, ekosistem digital memungkinkan hubungan antar perusahaan tidak hanya dalam hal transaksi penjualan, namun termasuk beberapa platform digital lain seperti fintech, financial services dan platform digital yang non-commercial.
Era digitalisasi menuntut adanya hubungan antara inovasi teknologi dengan perbankan. Peningkatan kapasitas teknologi harus dilengkapi dengan kelayakan infrastruktur jaringan, sehingga nasabah dapat melakukan transaksi dmanapun dengan stabil dan konsisten. Otomatisasi menjadi sangat penting, untuk menciptakan data center yang mampu secara otomatis memberikan rangkuman profil risiko nasabah. Dari perspektif internal audit, digitalisasi proses dan prosedur mampu mencegah, melindungi dan merespons risiko lebih cepat dan akurat.
Management Laba Perbankan
Pendapatan perbankan sebagian besar berupa penyaluran dana kredit, di mana sesuai dengan Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK 71) yang menyatakan bahwa bank harus menyediakan cadangan kerugian pinjaman sesuai dengan dugaan kerugian. Aturan yang mengatur penyediaan dan cadangan kerugian pinjaman bank memerlukan trade-off antara tujuan regulator bank, yang menekankan keamanan
dan kesehatan, dan tujuan pembuat standar akuntansi, yang menekankan transparansi laporan keuangan.
Secara berkala, manajer bank memutuskan berapa banyak yang akan ditambahkan ke akun cadangan kerugian pinjaman dan membebankan jumlah ini terhadap pendapatan bank saat ini.
Ketentuan kerugian pinjaman dicatat sebagai item beban pada laporan laba rugi bank. Karena jumlah dari kerugian pinjaman adalah kebijaksanaan manajer bank, maka terdapat potensi bagi bank untuk menyediakan lebih atau kurang dari yang diperlukan sebagai bentuk dari income smoothing. Bank dapat mengalihkan pendapatan dari kuartal yang baik ke kuartal yang buruk, di mana dari perspektif akuntansi, ini dapat disebut sebagai modifikasi discretionary pada pendapatan bank.
Ketentuan pembentukan cadangan pada PSAK 71 sebelumnya adalah berdasarkan backward-looking, yang dianggap lebih mudah diverifikasi karena cadangan dibentuk setelah kerugian terjadi atau berdasarkan kualitas kredit yang sudah terjadi artinya sudah ada bukti objektif. Hal ini sesuai dengan prinsip kehati-hatian dalam akuntansi, sehingga cadangan harus dibentuk ketika kerugian mungkin terjadi dan sudah dekat dan dapat dipastikan.
Saat ini proses digitalisasi perbankan memungkinkan terbentuknya data center nasabah, sehingga otomatisasi profil risiko nasabah lebih cepat dan pasti. Penerapan PSAK 71 mengharuskan penyediaan cadangan kerugian berdasarkan forward-looking atau dugaan di masa depan. Pada akhirnya, digitalisasi perbankan menjadi harapan terciptanya keselarasan antara tujuan regulator dengan tujuan pembuat standar akuntansi.
PENULIS: Ignatia Ryana Widyatini, dosen Prodi Akuntansi, Fakultas Bisnis dan Ekonomika Universitas Atma Jaya Yogyakarta