Kebijakan Ekonomi Pemerintah Harus Menyejahterakan Masyarakat

Penulis : D. Sriyono/ Editor : Sudianto Pane

D. Sriyono, dosen Prodi Ekonomi Pembangunan, Fakultas Bisnis dan Ekonomika, Universitas Atma Jaya Yogyakarta.
D. Sriyono, dosen Prodi Ekonomi Pembangunan, Fakultas Bisnis dan Ekonomika, Universitas Atma Jaya Yogyakarta.

SURYAYOGYA.COM – Tujuan pembentukan lembaga negara adalah merupakan perwujudan dari kedaulatan yang berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-undang Dasar, yakni UUD 1945 yang menjadi dasar pembentukan lembaga-lembaga negara.

Lembaga-lembaga pemerintahan tentu diharapkan memiliki prioritas yang sejalan dengan cita-cita negara, dan mencari referensi dari pengalaman negara lain yang dianggap sesuai.

Jaminan paling sederhana dapat dilihat dari bidang ekonomi adalah bahwa terbentuknya lembaga negara akan membantu terciptanya penyediaan barang dan jasa yang dibutuhkan baik untuk masyarakat Indonesia maupun masyarakat dunia.

Prestasi setiap lembaga juga harus dinilai secara periodik minimal setahun sekali sesuai dengan target atau tidak, dan kemudian dievaluasi.

Salah satu tujuan yang harus dicapai adalah masyarakat yang hidup sejahtera. Pembicaraan mengenai hal ini nyaris selalu mengemuka ketika Badan Pusat Statistik (BPS) merilis data kemiskinan, terlebih ketika tingkat kemiskinan tampak meningkat.

Laporan BPS bulan lalu misalnya, menyebutkan bahwa persentase penduduk miskin Indonesia pada September 2022 sebesar 9,57 persen, meningkat 0,03 persen poin terhadap Maret 2022 dan menurun 0,14 persen poin terhadap September 2021.

 

Ukuran kesejahteraan

Menurut BPS (2005), indikator yang digunakan untuk mengetahui tingkat kesejahteraan ada delapan yaitu (1) pendapatan, (2) konsumsi atau pengeluaran keluarga, (3) keadaan tempat tinggal, (4) fasilitas tempat tinggal, (5) kesehatan anggota keluarga, (6) kemudahan mendapatkan pelayanan kesehatan, (7) kemudahan memasukkan anak ke jenjang pendidikan, (8) kemudahan mendapatkan fasilitas transportasi.

Bila dilihat dari Undang-undang No. 11/2009, kesejahteraan sosial adalah kondisi terpenuhinya kebutuhan material, spiritual, dan sosial warga negara agar dapat hidup layak dan mampu mengembangkan diri, sehingga dapat melaksanakan fungsi sosialnya.

Dari undang–undang di atas dapat kita cermati bahwa ukuran tingkat kesejahteraan dapat dinilai dari kemampuan seorang individu atau kelompok dalam usahanya memenuhi kebutuhan material dan spiritualnya.

Kebutuhan material dapat kita hubungkan dengan pendapatan yang nanti akan mewujudkan kebutuhan akan pangan, sandang, papan dan kesehatan.

Kemudian kebutuhan spiritual kita hubungkan dengan pendidikan, kemudian keamanan dan ketenteraman hidup.

Salus populi suprema lex esto, biarlah kesejahteraan rakyat menjadi hukum tertinggi, adalah juga frasa yang dinyatakan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 yang mempunyai inti seperti berikut:

”Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.”

Pertanyaannya kemudian yang selalu muncul atas tujuan kita bernegara. adalah, kapan kesejahteraan rakyat itu tercapai? Tentu harus ada upaya yang terus-menerus dan tidak pernah berhenti, terlebih karena kesejahteraan memiliki makna yang dinamis.

Misalnya, miskin dalam arti pendapatan yang diperoleh tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan hidup layak, hanyalah salah satu indikator kesejahteraan. Oleh sebab itu sering ditemukan tidak ada atau lemahnya korelasi antara indikator ekonomi seperti Produk Domestik Bruto (PDB) dengan indikator lain seperti kebahagiaan. Dengan demikian memang tidaklah memadai memandang kemiskinan hanya dari variabel pendapatan.

Oleh sebab itu, perlu ada upaya untuk mengukur kesejahteraan dengan indikator yang multidimensi, misalnya disertai dengan alat ukur lain seperti misalnya Indeks Gini (IG), Indeks Pembangunan Manusia (IPM) maupun Indeks Pembangunan Manusia terkait gender.

Pelengkap ukuran kesejahteraan yang dinamis memerlukan kajian yang berkelanjutan seperti yang dilakukan oleh BPS tiga tahun terakhir, yakni pada tahun 2020 mengambil tema kajian akses

penyandang disabilitas di Indonesia terhadap pendidikan dan pekerjaan. Topik ini memberikan gambaran tentang ketimpangan akses penyandang disabilitas terhadap pendidikan dan pekerjaan serta sumber-sumber yang menyebabkan ketimpangan tersebut terjadi.

Tahun 2021 mengambil tema Kajian Kesempatan Kerja, Kualitas Pekerjaan dan Kompensasi Tenaga Kerja di Masa Pandemi. Tema ini memberikan gambaran tentang kondisi ketenagakerjaan di Indonesia sebelum, selama, dan saat kondisi ekonomi mulai pulih di masa pandemi COVID-19.

Tahun 2022 dari BPS mengambil tema kajian Perkembangan Teknologi Informasi dan Komunikasi dan Dampaknya terhadap Ketenagakerjaan dan Ketimpangan Pendapatan di Indonesia.

Terakhir anjuran dari Bank Dunia atau IMF adalah melalui pendekatan statistik dalam mengukur kinerja ekonomi yang lebih berfokus pada orang, dan kekhawatiran tentang ketidaksetaraan, dampak lingkungan, dan efek digitalisasi telah menempatkan kesejahteraan di urutan teratas agenda pengukuran. Dikatakan bahwa kesejahteraan ekonomi adalah konsep yang lebih sempit daripada kesejahteraan.

Fokus baru tersebut menyiratkan kebutuhan untuk memprioritaskan mengisi kesenjangan data yang melibatkan indikator kesejahteraan ekonomi dari System of National Accounts 2008 (SNA) dan meningkatkan kualitasnya, termasuk kualitas indeks harga konsumsi. Pengembangan indikator distribusi pendapatan, konsumsi, dan kekayaan juga harus menjadi prioritas.

Definisi dan asumsi dapat berdampak besar pada indikator ini dan harus didokumentasikan. Kekhawatiran juga muncul atas potensi pertumbuhan kesejahteraan yang terabaikan dari munculnya ekonomi digital. Banyak efek kesejahteraan dari digitalisasi memerlukan indikator pelengkap, baik karena secara konseptual berada di luar batas

PDB atau tidak mungkin diukur tanpa membuat asumsi yang tidak pasti.

 

Peran Kebijakan Ekonomi

Untuk mempermudah, para ekonom membagi masyarakat menjadi dua: (1) konsumen dan (2) produsen, dan pemerintah bisa ikut campur untuk mengaturnya, lalu muncullah kebijakan ekonomi. Kebijakan ekonomi pemerintah sangat diperlukan untuk menjaga stabilitas perekonomian di Indonesia.

Kebijakan ini diharapkan dapat menjangkau seluruh pasar, konsumen, mau­pun produsen. Selain itu, dapat mendukung pemerataan ekonomi masyarakat. Kebijakan ekonomi pemerintah merupakan tindakan pemerintah di suatu negara dalam menetapkan keputusan di bidang ekonomi.

Hal ini dapat dilihat baik dari sisi ekonomi mikro maupun makro. Ekonomi mikro menganalisis bagian kecil dari keseluruhan kegiatan ekonomi, juga membahas mengenai perilaku konsumen dan produsen, serta penentuan harga pasar dan kuantitas produk yang dijual di dalam pasar.

Contoh ekonomi mikro yang paling sering kita temui adalah interaksi jual beli di pasar antara konsumen dan produsen. Jenis-jenis kebijakan ekonomi pemerintah secara mikro, yang sering dilakukan Pemerintah: (1) Penetapan harga minimum yang merupakan intervensi kebijakan langsung yang dilakukan oleh pemerintah untuk menjaga kestabilan harga di pasar.

Contoh nyata yang sering ditemukan adalah banyak hasil pertanian yang dibeli dengan harga terlalu rendah untuk dapat dijual kembali. Hal ini tentu sangat merugikan petani yang sudah menanam. Oleh sebab itu, pemerintah misalnya menetapkan harga minimum.

Penetapan harga maksimum atau biasa dikenal dengan harga eceran tertinggi (HET) dilakukan pemerintah untuk melindungi konsumen. Kebijakan HET dilakukan jika terdapat harga pasar yang dianggap terlalu tinggi dan di luar batas daya beli konsumen.

Dengan begitu, penjual tidak diperbolehkan untuk menetapkan harga di atas harga maksimum. Contoh penetapan harga maksimum di Indonesia antara lain harga obat-obatan, harga Bahan Bakar Minyak (BBM), dan tarif transportasi umum.

Adapun kebijakan ekonomi makro merupakan bagian dari ilmu ekonomi yang berfokus pada mekanisme perekonomian secara menyeluruh. Kebijakan ekonomi makro adalah kebijakan yang diambil oleh pemerintah suatu negara dengan tujuan untuk menstabilkan perekonomian dan menciptakan pertumbuhan ekonomi ke arah positif.

Pembahasan dalam kebijakan ekonomi makro tidak hanya tentang produsen dan konsumen, melainkan seluruh variabel ekonomi. Misalnya seperti pendapatan nasional, kesempatan kerja, jumlah uang yang beredar, laju inflasi, pertumbuhan ekonomi, hingga neraca pembayaran internasional. Beberapa contoh kebijakan pemerintah secara makro:

1. Kebijakan moneter, adalah kebijakan yang bertujuan untuk mencapai keseimbangan internal dan eksternal demi mencapai stabilitas ekonomi suatu negara.

2. Kebijakan fiskal, adalah kebijakan ekonomi yang bertujuan untuk mengarahkan perekonomian menjadi lebih baik dengan jalan mengubah penerimaan dan pengeluaran pemerintah.

3. Kebijakan segi penawaran, adalah kebijakan yang berfokus pada penawaran agregat dengan upaya meningkatkan produktivitas, efisiensi, dan kapasitas potensial sebuah perekonomian.

Dilihat dari waktu terdapat kebijakan ekonomi makro jangka pendek dan jangka Panjang. Kebijakan jangka pendek

ditujukan untuk mengatasi masalah ekonomi yang bersifat perlu segera ditangani dan bersifat genting. Masalah ekonomi ini umumnya adalah pengangguran dan inflasi. Kebijakan ekonomi jangka pendek dapat menjaga kestabilan ekonomi di bidang ketenagakerjaan tanpa mengalami inflasi.

Sedangkan masalah jangka panjang akan berusaha memcahkan masalah ekonomi yang berkaitan dengan pertumbuhan ekonomi, ketimpangan neraca pembayaran, pengangguran dan inflasi yang terus menerus, serta kegagalan pasar. Selain itu pemerintah juga bisa menjaga keserasian antara pertumbuhan penduduk, pertambahan kapasitas produksi, dan tersedianya dana untuk investasi.

Penutup

Usaha melakukan kegiatan ekonomi oleh suatu masyarakat yang bermanfaat untuk masyarakat lainnya haruslah dilindungi oleh negara. Masyarakat yang dimaksud baik produsen maupun konsumen. Sering terjadi peristiwa produsen senang, konsumen tidak senang atau sebaliknya.

Kewajiban pemerintah dalam kasus ini harus berusaha menyeimbangkan. Pemerintah dalam hal ini direpresentasikan dalam sosok presiden sebagai penentu kelangsungan kegiatan ekonomi yang berkelanjutan.

Apabila kegiatan ekonomi mengalami kemacetan maka pemerintah perlu menyelesaikannya dengan menerapkan kebijakan. Kebijakan yang akan dipilih harus selalu mendukung terciptanya kegiatan ekonomi yang menghasilkan barang dan jasa yang bermanfaat bagi masyarakat dan ramah lingkungan.

Koreksi dan evaluasi secara periodik kegiatan yang dilakukan masyarakat juga perlu dilakukan. Peran pemerintah juga bisa hanya dengan pengawasan melalui lembaga-lembaganya.

Seiring dengan bertambahnya umur Indonesia yang memiliki penduduk diperkirakan mencapai 273,52 juta jiwa per 31 Januari 2023, tentu semakin banyak juga yang ingin menjadi lebih sejahtera. Tuntutan perkembangan masyarakat yang tidak ingin berbeda jauh dengan masyarakat dunia pada umumnya tidaklah mustahil, karena adanya teknologi komunikasi yang perkembangannya begitu pesat.(*)

 

Penulis: D. Sriyono, dosen Prodi Ekonomi Pembangunan, Fakultas Bisnis dan Ekonomika, Universitas Atma Jaya Yogyakarta.