
Oleh Slamet S Sarwono – Pendidikan pada umumnya dapat dipandang sebagai upaya menyiapkan sumber daya manusia sebuah negara. Sistem pendidikan yang baik akan dapat menciptakan sumber daya manusia yang unggul dan selanjutnya dapat mendorong kemajuan suatu negara. Artinya, semakin baik kualitas pendidikan suatu negara, semakin maju pula negara tersebut dalam berbagai bidang.
Salah satu contoh yang fenomenal adalah Korea Selatan. Seperti sudah banyak diketahui, Korea Selatan adalah salah satu negara dengan kualitas pendidikan terbaik. Berangkat dari sebuah negara yang hancur karena perang saudara pada awal tahun 1950-an, Korea Selatan berhasil menjelma sebagai sebuah negara maju pada awal tahun 2000-an. Sistem pendidikan Korea Selatan menempatkan manusia sebagai modal insani yang harus dipersiapkan dengan baik untuk membangun dan mengembangkan karakter dan modal sosial sehingga dapat menghadapi tantangan-tantangan di masa depan.
Francis Fukuyama, dalam bukunya yang berjudul Trust: Social Virtues and the Creation of Prosperity, mengartikan modal sosial sebagai serangkaian nilai atau norma informal yang dihayati oleh anggota-anggota sebuah kelompok yang memungkinkan adanya kerjasama di dalam kelompok tersebut. Kerjasama ini hanya dapat terwujud dengan adanya kepercayaan (trust) satu sama lain. Apabila anggota kelompok dapat percaya bahwa anggota yang lain dapat diandalkan dan berlaku jujur, maka kepercayaan ini akan terbangun. Modal sosial tampak seperti sekumpulan sumber daya kepercayaan yang tertanam di dalam diri individu dan masyarakatnya dan dengan demikian terbentuk jaringan-jaringan hubungan yang dimiliki oleh individu dan masyarakat itu.
Modal Sosial, Radius Kepercayaan, Groupthink
Setiap masyarakat sejatinya telah memiliki persediaan modal sosial meskipun harus terus dijaga dan dikembangkan. Perbedaan antara satu masyarakat dan masyarakat lain terletak pada apa yang disebut radius kepercayaan, yaitu sejauh mana norma-norma kerja sama seperti kejujuran, pemenuhan kewajiban, solidaritas, rasa keadilan berlaku bagi kelompok terbatas dan sempit (negatif) atau menjangkau kelompok luas atau yang lebih luas atau positif. Apabila kepercayaan (trust) hanya berlaku bagi kelompok sendiri, atau terbatas, kelompok yang sempit, seperti yang terjadi dalam kelompok “mafia” misalnya, maka yang akan terjadi adalah nepotisme, kesetiaan sempit, dan primordialisme. Djamaludin Ancok menyebutnya sebagai modal sosial negatif yang dapat menjadi bencana bila dimiliki oleh kelompok individu yang tidak bermoral. Modal sosial negatif ini juga dapat memampukan kelompok yang dominan atau kuat bertindak sedemikan rupa untuk melindungi kepertingan pribadi atau kelompok. Hal ini disebabkan karena solidaritas dan kerjasama yang intens telah digunakan ke arah yang buruk. Situasi semacam ini selanjutnya dapat berpengaruh negatif pada organisasi dan perekonomian.
Mungkin gejala semacam ini juga dapat disamakan dengan apa yang disampaikan oleh Irving L. Janis dalam artikel yang berjudul Groupthink: The Desperate Drive for Consensus at Any Cost. Janis menyebutnya sebagai sindrom Groupthink. Sindrom groupthink adalah kecenderungan kuat untuk mencapai konsensus atau kesamaan pandangan berapapun besar biayanya atau apapun konsekuensinya. Sindrom groupthink semacam ini dapat mengakibatkan keputusan menjadi tidak optimal, keliru, menimbulkan kerugian dan bahkan dapat menimbulkan kegagalan yang meluas. Sindrom groupthink adalah cara berpikir yang digunakan oleh sekelompok orang yang mengambil keputusan dengan tingkat kepaduan (cohesiveness) dan homogentitas yang tinggi. Dalam proses ini, pemimpin dan anggota kelompok berusaha untuk mencapai suara bulat atau konsensus dan mengesampingkan alternatif lain mungkin lebih realistis serta mengesampingkan juga konsekuensi atau akibat dari keputusan yang akan muncul.
Kasus korupsi yang masih cukup masif di Indonesia dapat digunakan sebagai contoh bekerjanya mekanisme modal sosial negatif dan sindrom groupthink. Mungkin kasus korupsi yang cukup menonjol yang ditetapkan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) akhir-akhir ini adalah kasus Gubernur Papua Lukas Enembe. Perjalanan kasus korupsi ini telah dibahas cukup rinci misalnya oleh tempo.co beberapa waktu yang lalu.
Tampak cukup jelas bahwa setelah KPK menetapkan Lukas Enembe sebagai tersangka pada tanggal 14 September 2022, tersangka baru dapat ditangkap dan diperiksa pada 10 Januari 2023. Dan yang juga tidak kalah menarik adalah kasus yang menyangkut usaha-usaha yang dapat diklasifikasikan sebagai usaha menghalangi, merintangi dan atau menggagalkan penyididikan dan penuntutan. Beberapa kali personal KPK tidak berhasil mendekati tersangka karena ada usaha menghalangi penangkapan dari para simpatisan tersangka.
Jika kedua kasus di atas dipandang sebagai dua kasus yang berhubungan satu dan lainnya atau sebagai kasus yang terpisah, cukup jelas terlihat bahwa pada dugaan korupsi atau kasus penghalangan penyidikan terjadi karena adanya kelekatan atau tingkat kepaduan (cohesiveness) antar individu yang terlibat, adanya kekuatan pencapaian konsensus yang kuat, mengesampingkan alternatif keputusan dan tidak mempertimbangkan konsekuensi atau akibat yang akan muncul. Konsekuensi atau akibat dari kedua kasus itu jelas terlihat dengan terjadinya proses penyidikan dan persidangan yang berkepanjangan dan berbiaya besar.
Peran Pendidikan
BACA:Peran Akuntan Mewujudkan SDGs yang Bukan Sekadar Jargon
BACA:Hawkish Versus Dovish di Tengah Isu Resesi Ekonomi Global