Pengelolaan Working Capital Perusahaan Retail pada Masa Krisis

Wimpie Yustino Setiawan, dosen Prodi Akuntansi, Fakultas Bisnis dan Ekonomika, Universitas Atma Jaya Yogyakarta
Wimpie Yustino Setiawan, dosen Prodi Akuntansi, Fakultas Bisnis dan Ekonomika, Universitas Atma Jaya Yogyakarta

OLEH:  Wimpie Yustino Setiawan

WORKING capital atau modal kerja merupakan salah satu komponen yang sangat penting dalam bisnis dan sering digunakan untuk mengukur likuiditas suatu perusahaan.

Pada umumnya, working capital dihitung sebagai selisih antara aset lancar dan liabilitas lancar yang dimiliki oleh perusahaan.

Aset lancar merupakan aset yang biasanya memiliki masa manfaat kurang dari satu tahun, seperti kas, piutang usaha, persediaan barang dagangan, dan investasi jangka pendek lainnya.

Sementara itu, liabilitas lancar mencakup kewajiban perusahaan yang jatuh tempo dalam waktu kurang dari setahun, misalnya utang usaha, utang bank jangka pendek, gaji pegawai yang belum dibayarkan, tagihan listrik yang belum dibayar, dan kewajiban jangka pendek lainnya.

Working capital yang bernilai positif mengindikasikan bahwa suatu perusahaan memiliki aset lancar yang lebih besar daripada utang lancarnya. Hal ini dapat memberikan sinyal bahwa perusahaan memiliki likuiditas yang baik.

Sebaliknya, working capital akan memiliki nilai negatif jika utang yang harus dilunasi oleh perusahaan dalam waktu kurang dari setahun lebih besar daripada aset lancar yang dimiliki oleh perusahaan.

Dengan kata lain, working capital yang bernilai negatif memberikan sinyal bahwa perusahaan kemungkinan sedang mengalami kesulitan dalam hal likuiditas. Namun demikian, komponen penyusun working capital suatu perusahaan sangat dipengaruhi oleh karakteristik industri perusahaan tersebut.

Perusahaan dagang, misalnya, akan cenderung memiliki working capital yang lebih tinggi daripada perusahaan transportasi. Hal ini disebabkan karena perusahaan dagang pada umumnya memiliki persediaan barang dagangan, yang tergolong dalam aset lancar, sebagai komponen terbesar dalam investasi mereka. Sementara itu, perusahaan transportasi lebih mengutamakan investasi jangka panjang, misalnya kendaraan, daripada aset lancar.

Secara khusus, bagi perusahaan retail, baik perusahaan retail perorangan seperti warung dan toko maupun perusahaan retail korporat, manajemen working capital sangat menentukan keberlangsungan usaha. Hal ini terbukti dalam masa pandemi COVID-19 yang lalu, terutama ketika kebijakan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) pertama kali diterapkan di Indonesia pada tahun 2020.

Pada saat itu, permintaan barang dan jasa yang jatuh secara signifikan menyebabkan menurunnya aktivitas ekspor, impor dan kegiatan ekonomi secara keseluruhan. Sebagai akibatnya, rantai pasokan yang terganggu menyebabkan disrupsi pada kegiatan operasional perusahaan retail dan meningkatkan tekanan pada working capital.

Pada situasi krisis semacam ini, working capital akan sangat bergantung pada seberapa cepat perusahaan dapat bereaksi terhadap perubahan.

Sebagai respon terhadap menurunnya profitabilitas dalam periode krisis, perusahaan dapat memilih untuk mengadopsi strategi konservatif atau strategi agresif dalam manajemen working capital. Apabila sebuah perusahaan menggunakan strategi konservatif, maka perusahaan tersebut akan meningkatkan investasi mereka dalam working capital, terutama dalam persediaan barang dagangan dan piutang usaha.

Peningkatan persediaan dan kebijakan kredit pelanggan yang lebih longgar ini diharapkan dapat mendorong penjualan dan pada akhirnya meningkatkan laba perusahaan.

Sebaliknya, perusahaan yang menggunakan strategi agresif akan mengurangi investasi dalam working capital. Hal ini dilakukan dengan tujuan untuk mengurangi biaya penyimpanan, dikarenakan persediaan barang dagangan yang lebih sedikit akan meringankan biaya yang harus dikeluarkan oleh perusahaan untuk menyimpan persediaan tersebut, misalnya biaya akibat penyusutan alami atau kerusakan persediaan, pencurian, kebakaran, dan sebagainya.

Pada saat yang sama, dengan berkurangnya piutang usaha, perusahaan berharap dapat menggunakan kas yang ada, yang tidak terikat pada piutang, untuk peluang-peluang investasi lain yang lebih menguntungkan.

BACA:Peran Akuntan Mewujudkan SDGs yang Bukan Sekadar Jargon

BACA:Hawkish Versus Dovish di Tengah Isu Resesi Ekonomi Global

Perusahaan harus sangat berhati-hati dalam mengelola working capital yang dimilikinya, karena manajemen working capital dapat menentukan keberhasilan maupun kegagalan perusahaan.

Kesalahan dalam pengelolaan working capital dapat menyebabkan munculnya masalah likuiditas, yang biasanya ditandai oleh masalah cash flow. Karena working capital sangat diperlukan dalam kegiatan operasional sehari-hari perusahaan retail, maka kekurangan working capital dapat menyebabkan krisis likuiditas dan bahkan memburuknya kondisi keuangan perusahaan, yang sering dikenal dengan istilah financial distress.

Akan tetapi, working capital yang terlalu berlebihan juga dapat berbahaya bagi perusahaan, terutama ketika sebagian besar working capital berasal dari utang.

Misalnya, perusahaan retail yang meminjam uang dari bank untuk membeli persediaan barang dagangannya harus berhati-hati, karena beban bunga yang muncul akibat pinjaman tersebut dapat mengurangi profitabilitas perusahaan serta menimbulkan tekanan pada cash flow perusahaan.

Sebuah studi yang dilakukan oleh Setiawan dan Hutomo (2022) mencoba melihat dampak dari pandemi COVID-19 terhadap manajemen working capital perusahaan-perusahaan retail yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI).

Dalam penelitian tersebut, pengelolaan working capital perusahaan diukur dengan menggunakan empat indikator.

Indikator yang pertama adalah siklus konversi kas, yaitu jumlah hari yang dibutuhkan oleh perusahaan untuk mengubah sumber daya yang dimilikinya menjadi kas.

Indikator kedua yang digunakan adalah working capital requirement (WCR), yang menunjukkan seberapa besar sumber daya keuangan yang dibutuhkan oleh perusahaan untuk menutupi biaya siklus produksi, beban operasional yang akan datang, dan membayar utang.

Sementara itu, net liquid balance (NLB), yaitu jumlah aset likuid yang tersedia untuk mendanai working capital requirement perusahaan, digunakan sebagai indikator ketiga. Sedangkan arus kas operasi menjadi indikator keempat dalam studi tersebut.

Hasil studi yang memasukkan 30 perusahaan retail sebagai sampel tersebut menunjukkan bahwa pandemi COVID-19 tidak mempengaruhi siklus konversi kas, working capital requirement, dan arus kas operasi perusahaan retail.

BACA:“Legalistic Humanism” Between Idea and Actualization of the Concept of Humanity in the History of War and Conflict

BACA:Pertumbuhan Ekonomi, Inflasi, dan Pengangguran di tengah Geopolitik dan Geoekonomi Global